Pollycarpus Budihari Prijanto (tengah) saat meninggalkan Lapas Kelas 1 Sukamiskin, Bandung Jawa Barat, Sabtu (29/11/2014)--Antara/Novrian Arbi
Pollycarpus Budihari Prijanto (tengah) saat meninggalkan Lapas Kelas 1 Sukamiskin, Bandung Jawa Barat, Sabtu (29/11/2014)--Antara/Novrian Arbi

PB Pollycarpus Karena Obral Remisi di Pemerintahan Terdahulu

Dheri Agriesta • 02 Desember 2014 12:28
medcom.id, Jakarta: Pemerintah perlu berhati-hati menyikapi banyaknya kritikan terhadap pembebasan bersyarat terpidana kasus pembunuhan aktivias hak asasi manusia (HAM) Munir Said Thalib, Pollycarpus Budihari Priyanto.
 
Anggota Komisi III DPR Martin Hutabarat mengatakan yang perlu dilakukan pemerintah saat ini adalah menjelaskan pada publik apa yang sebetulnya terjadi.
 
Menurutnya, pembebasan bersyarat yang diperoleh Pollycarpus sudah sesuai aturan. Dan sebagai warga binaan, bekas pilot Garuda Indonesia itu punya hak narapidana itu.

Hanya saja, yang patut dipertanyakan adalah obral remisi yang diperoleh Pollycarpus selama mendekam di penjara. Obral remisi yang diberikan oleh pemerintah terdahulu inilah yang membuat Pollycarpus mendapatkan pembebasan bersyarat tahun ini. Dan itu bisa dijelaskan pemerintah kepada publik.
 
"Remisi besar itu dianggap tak sebanding dengan perbuatannya. Ini yang perlu dijelaskan pemerintah," jelas Martin kepada wartawan di Gedung DPR, Jakarta, Selasa (2/12/2014).
 
Lebih lanjut Martin mengatakan pembebasan bersyarat Pollycarpus menjadi berita besar karena status dia sebagai terdakwa pembunuh aktivis HAM. Untuk itu pemerintah mesti berhati-hati menyikapi ini.
 
"Jadi Pollycarpus ini menjadi berita besar karena yang menjadi korban dari tindakan diduga dilakukan Polly adalah aktivis HAM terkenal. Karena itu memang pemerintah seharusnya hati-hati menyikapi soal Pollycarpus ini," kata Martin.
 
Untuk diketahui, Pollycarpus Budihari Priyanto mengantongi surat pembebasan bersyarat sejak Jumat (28/11/2014). Mantan pilot Garuda itu mendapatkan pembebasan bersyarat setelah menjalani delapan tahun masa hukuman dari vonis 14 tahun penjara. Vonis 14 tahun penjara tersebut berdasarkan putusan Mahkamah Agung (MA) setelah Pollycarpus mengajukan Peninjauan Kembali (PK).
 
Pollycarpus dinyatakan terbukti bersalah dalam kasus meninggalnya Munir di pesawat Garuda Indonesia, 7 September 2004. Munir meninggal akibat akibat racun arsenik dengan jumlah dosis yang fatal dalam penerbangan menuju Amsterdam. Saat itu, Pollycarpus juga berada dalam pesawat itu dan sedang tidak bertugas dalam pesawat yang sama.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(KRI)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan