Jakarta: Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta mencatat ada 13 kekurangan yang perlu menjadi koreksi dalam dua tahun pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Wakil Presiden Ma’ruf Amin. Pemerintah diminta memperbaiki kekurangan itu.
“Kami ingin mengingatkan kembali bahwa tanggung jawab penghormatan, pemenuhan, dan perlindungan HAM (hak asasi manusia) ada pada negara, dalam hal ini pemerintah pusat dan daerah,” kata Direktur LBH Jakarta Arif Maulana dalam telekonferensi di Jakarta, Minggu, 24 Oktober 2021.
Berikut 13 catatan LHB Jakarta terkait dua tahun pemerintahan Jokowi-Ma'ruf:
Kebijakan penanganan pandemi covid-19
Masifnya penggunaan pasal-pasal karet
Institusi penegak hukum
Ketidakseriusan melaksanakan agenda pemberantasan korupsi
Pengesahan omnibus law yang inkonstitusional dan tren buruk penyusunan peraturan perundang-undangan
Komitmen pemerintah melindungi hak atas perlindungan hidup sehat
Minimnya perlindungan hukum dan HAM dalam praktik pinjaman online (pinjol) ilegal
Otonomi khusus (otsus) jilid 2 Papua
Mandeknya pembahasan berbagai rancangan undang-undang (RUU) yang urgen
Pembangunan proyek strategis nasional yang cenderung sangat sentralistik dan mengesampingkan aspek/kondisi sosio-kultural warga setempat
Penuntasan pelanggaran HAM berat masa lalu yang mandek di Kejaksaan Agung
Minimnya perlindungan pekerja migran di luar negeri.
Penanggulangan banjir yang buruk berdasarkan Open Data Jakarta.
Arif menyebut pemerintah bersikap skeptis dan terkesan menyepelekan persoalan covid-19 sejak awal ditemukan kasus positif. “Akhirnya berbuah simalakama dengan terus meroketnya angka kasus positif dan penularan di masyarakat,” papar dia.
Selain itu, pemerintah menghadapi tantangan dan kendala seperti ketidaksesuaian data angka kasus covid-19. Kemudian, implementasi kebijakan bantuan sosial hingga ketidaksiapan infrastruktur dan fasilitas kesehatan.
Arif juga menyoroti penggunaan pasal karet di era pemerintahan Jokowi-Ma'ruf. Menurut dia, pasal karet kerap digunakan untuk membungkam kemerdekaan berpendapat dan berekspresi.
“Tindakan reaksioner aparat penegak hukum yang menyampingkan HAM menjadi salah satu hal yang turut mewarnai mundurnya kemerdekaan berekspresi,” ujar Arif.
Baca: Strategi Rem dan Gas Jokowi-Ma'ruf Ampuh Mengendalikan Covid-19
Di samping itu, Arif menyampaikan aparat penegak hukum, khususnya kepolisian, kerap digunakan sebagai pelindung kekuasaan. Dampaknya, segregasi terhadap perlindungan masyarakat.
Arif mengutip data pengaduan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Republik Indonesia (Komnas HAM) selama 2020. Laporan itu mencatat Polri sebagai institusi yang paling banyak dilaporkan atas dugaan pelanggaran HAM.
“Penggunaan istilah 'oknum' juga seringkali digunakan untuk menutupi bobroknya kinerja Polri secara kelembagaan,” tutur dia.
Kemudian, pemerintahan Jokowi-Ma'ruf dipandang tidak serius menjalankan agenda pemberantasan korupsi. Padahal, itu menjadi salah satu amanah reformasi adalah pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).
LBH Jakarta juga mengkritik pengesahan omnibus law dan penyusunan perundang-undangan yang dianggap kurang tepat. Lalu, mereka menyayangkan keputusan pemerintahan Jokowi-Ma'ruf yang mengajukan banding atas putusan terkait kualitas udara yang diajukan Koalisi Ibu Kota.
Arif menjelaskan pemerintah selama ini juga kurang memberikan perlindungan hukum dan HAM kepada masyarakat yang terjerat pinjol ilegal. Masih seputar HAM, dia menyayangkan pemerintah memberikan otonomi khusus (otsus) jilid 2, namun masih terjadi berbagai diskriminasi hingga kriminalisasi di Papua.
Menurut dia, pemerintah juga lamban dalam mengesahkan RUU yang mendesak. Seperti, RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) dan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT).
"Pembangunan dalam proyek strategis nasional (di era Jokowi-Ma'ruf) cenderung sangat sentralistik dan mengesampingkan aspek/kondisi sosio-kultural warga setempat,” papar dia.
Arif menyampaikan pemerintah Jokowi-Ma'ruf juga belum menepati janjinya untuk menuntaskan pelanggaran HAM masa lalu. Dia pun menyoroti ada kasus pekerja migran yang dianiaya majikannya di luar negeri.
“Tidak sedikit pula pekerja migran yang mengalami depresi karena tekanan yang didapatkan selama bekerja dan mengakhiri hidupnya sendiri,” ucap Arif.
Baca: Pemerintah Tegaskan Selalu Upayakan Penyelesaian Pelanggaran HAM
Pada penanggulangan banjir, LBH Jakarta mencatat 1.812 kelurahan dengan 42.383 keluarga terdampak banjir di Ibu Kota sepanjang 2020. “Penanggulangan banjir tentu tidak dapat dipandang sebatas tindakan mitigasi semata. Dibutuhkan kajian holistik untuk menjawab dan menanggulangi banjir yang tiap tahun melanda,” jelas Arif.
Jakarta: Lembaga Bantuan Hukum (
LBH) Jakarta mencatat ada 13 kekurangan yang perlu menjadi koreksi dalam
dua tahun pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Wakil Presiden Ma’ruf Amin. Pemerintah diminta memperbaiki kekurangan itu.
“Kami ingin mengingatkan kembali bahwa tanggung jawab penghormatan, pemenuhan, dan perlindungan HAM (hak asasi manusia) ada pada negara, dalam hal ini pemerintah pusat dan daerah,” kata Direktur LBH Jakarta Arif Maulana dalam telekonferensi di Jakarta, Minggu, 24 Oktober 2021.
Berikut 13 catatan LHB Jakarta terkait dua tahun pemerintahan Jokowi-Ma'ruf:
- Kebijakan penanganan pandemi covid-19
- Masifnya penggunaan pasal-pasal karet
- Institusi penegak hukum
- Ketidakseriusan melaksanakan agenda pemberantasan korupsi
- Pengesahan omnibus law yang inkonstitusional dan tren buruk penyusunan peraturan perundang-undangan
- Komitmen pemerintah melindungi hak atas perlindungan hidup sehat
- Minimnya perlindungan hukum dan HAM dalam praktik pinjaman online (pinjol) ilegal
- Otonomi khusus (otsus) jilid 2 Papua
- Mandeknya pembahasan berbagai rancangan undang-undang (RUU) yang urgen
- Pembangunan proyek strategis nasional yang cenderung sangat sentralistik dan mengesampingkan aspek/kondisi sosio-kultural warga setempat
- Penuntasan pelanggaran HAM berat masa lalu yang mandek di Kejaksaan Agung
- Minimnya perlindungan pekerja migran di luar negeri.
- Penanggulangan banjir yang buruk berdasarkan Open Data Jakarta.
Arif menyebut pemerintah bersikap skeptis dan terkesan menyepelekan persoalan
covid-19 sejak awal ditemukan kasus positif. “Akhirnya berbuah simalakama dengan terus meroketnya angka kasus positif dan penularan di masyarakat,” papar dia.
Selain itu, pemerintah menghadapi tantangan dan kendala seperti ketidaksesuaian data angka kasus covid-19. Kemudian, implementasi kebijakan bantuan sosial hingga ketidaksiapan infrastruktur dan fasilitas kesehatan.
Arif juga menyoroti penggunaan pasal karet di era pemerintahan Jokowi-Ma'ruf. Menurut dia, pasal karet kerap digunakan untuk membungkam kemerdekaan berpendapat dan berekspresi.
“Tindakan reaksioner aparat penegak hukum yang menyampingkan HAM menjadi salah satu hal yang turut mewarnai mundurnya kemerdekaan berekspresi,” ujar Arif.
Baca:
Strategi Rem dan Gas Jokowi-Ma'ruf Ampuh Mengendalikan Covid-19
Di samping itu, Arif menyampaikan aparat penegak hukum, khususnya kepolisian, kerap digunakan sebagai pelindung kekuasaan. Dampaknya, segregasi terhadap perlindungan masyarakat.
Arif mengutip data pengaduan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Republik Indonesia (Komnas HAM) selama 2020. Laporan itu mencatat Polri sebagai institusi yang paling banyak dilaporkan atas dugaan
pelanggaran HAM.
“Penggunaan istilah 'oknum' juga seringkali digunakan untuk menutupi bobroknya kinerja Polri secara kelembagaan,” tutur dia.
Kemudian, pemerintahan Jokowi-Ma'ruf dipandang tidak serius menjalankan agenda pemberantasan korupsi. Padahal, itu menjadi salah satu amanah reformasi adalah pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).
LBH Jakarta juga mengkritik pengesahan omnibus law dan penyusunan perundang-undangan yang dianggap kurang tepat. Lalu, mereka menyayangkan keputusan pemerintahan Jokowi-Ma'ruf yang mengajukan banding atas putusan terkait kualitas udara yang diajukan Koalisi Ibu Kota.
Arif menjelaskan pemerintah selama ini juga kurang memberikan perlindungan hukum dan HAM kepada masyarakat yang terjerat
pinjol ilegal. Masih seputar HAM, dia menyayangkan pemerintah memberikan otonomi khusus (otsus) jilid 2, namun masih terjadi berbagai diskriminasi hingga kriminalisasi di Papua.
Menurut dia, pemerintah juga lamban dalam mengesahkan RUU yang mendesak. Seperti, RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) dan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT).
"Pembangunan dalam proyek strategis nasional (di era Jokowi-Ma'ruf) cenderung sangat sentralistik dan mengesampingkan aspek/kondisi sosio-kultural warga setempat,” papar dia.
Arif menyampaikan pemerintah Jokowi-Ma'ruf juga belum menepati janjinya untuk menuntaskan pelanggaran HAM masa lalu. Dia pun menyoroti ada kasus pekerja migran yang dianiaya majikannya di luar negeri.
“Tidak sedikit pula pekerja migran yang mengalami depresi karena tekanan yang didapatkan selama bekerja dan mengakhiri hidupnya sendiri,” ucap Arif.
Baca:
Pemerintah Tegaskan Selalu Upayakan Penyelesaian Pelanggaran HAM
Pada penanggulangan banjir, LBH Jakarta mencatat 1.812 kelurahan dengan 42.383 keluarga terdampak banjir di Ibu Kota sepanjang 2020. “Penanggulangan banjir tentu tidak dapat dipandang sebatas tindakan mitigasi semata. Dibutuhkan kajian holistik untuk menjawab dan menanggulangi banjir yang tiap tahun melanda,” jelas Arif.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(AZF)