Jakarta: Indonesia diminta menjadikan isu rasial yang dipicu kasus pembunuhan George Floyd, warga kulit hitam Amerika Serikat (AS) oleh seorang anggota polisi berkulit putih, sebagai pelajaran. Peristiwa serupa diharapkan tak terjadi di Tanah Air.
"Jadikan tempat kita berkaca untuk menjadi dorongan bagi kita membangun kemajemukan multikulturalisme atas dasar toleransi," kata Ketua Dewan Nasional Pergerakan Indonesia Maju (DN PIM), Din Syamsuddin, dalam sebuah diskusi, Kamis, 11 Juni 2020.
Menurut Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) ini, manusia diciptakan dalam keberagaman, ras, bangsa, suku dan agama. Kemajemukan diyakini dapat dipandang dalam bahasa Islam sebagai sunnatullah, atau hukum Tuhan.
"Kita berada di latar kemajemukan adalah takdir Ilahi. Bukan hasrat insani. Bukan karena keinginan manusia," ujar Din.
Namun, kebaragaman tipikal juga muncul dalam kemajemukan manusia. Ada yang bisa hidup berdampingan dengan yang berbeda dengan mereka, ada yang tidak.
"Yang bisa hidup berdampingan untuk damai di alam kemajemukan maka itulah pemenang. Tapi mereka yang eksklusif cenderung mengenyahkan pihak lain ingin duduk sendiri adalah pecundang," tutur Din.
Din menilai realitas kemajemukan Indonesia mudah retak. Salah satu faktor penyebab keretakan itu ialah ketidakadilan dan hilangnya Sila ke-2 Pancasila, kemanusiaan yang adil dan beradab.
Jakarta: Indonesia diminta menjadikan isu rasial yang dipicu kasus pembunuhan George Floyd, warga kulit hitam Amerika Serikat (AS) oleh seorang anggota polisi berkulit putih, sebagai pelajaran. Peristiwa serupa diharapkan tak terjadi di Tanah Air.
"Jadikan tempat kita berkaca untuk menjadi dorongan bagi kita membangun kemajemukan multikulturalisme atas dasar toleransi," kata Ketua Dewan Nasional Pergerakan Indonesia Maju (DN PIM), Din Syamsuddin, dalam sebuah diskusi, Kamis, 11 Juni 2020.
Menurut Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) ini, manusia diciptakan dalam keberagaman, ras, bangsa, suku dan agama. Kemajemukan diyakini dapat dipandang dalam bahasa Islam sebagai
sunnatullah, atau hukum Tuhan.
"Kita berada di latar kemajemukan adalah takdir Ilahi. Bukan hasrat insani. Bukan karena keinginan manusia," ujar Din.
Namun, kebaragaman tipikal juga muncul dalam kemajemukan manusia. Ada yang bisa hidup berdampingan dengan yang berbeda dengan mereka, ada yang tidak.
"Yang bisa hidup berdampingan untuk damai di alam kemajemukan maka itulah pemenang. Tapi mereka yang eksklusif cenderung mengenyahkan pihak lain ingin duduk sendiri adalah pecundang," tutur Din.
Din menilai realitas kemajemukan Indonesia mudah retak. Salah satu faktor penyebab keretakan itu ialah ketidakadilan dan hilangnya Sila ke-2 Pancasila, kemanusiaan yang adil dan beradab.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(SUR)