medcom.id, Bogor: Indonesia harus segera merampungkan strategi pertahanan nonmiliter untuk mengantisipasi ancaman di luar ancaman militer. Sejumlah ancaman nonmiliter yang saat ini mengemuka adalah terorisme. Bahkan, bencana asap yang terjadi di Sumatra dan Kalimantan belakangan ini bisa dikategorikan sebagai ancaman nonmiliter.
"TNI dan Kemhan (Kementerian Pertahanan) saja sudah merumuskan ancaman militer hingga 2024 melalui pembangunan MEF (kekuatan pokok minimal/minimum essential force). Kemungkinan ancaman militer itu sangat kecil terjadi, tapi kita sudah merumuskannya," kata pengamat militer Universitas Indonesia, Andi Widjajanto, kepada Metrotvnews.com, di kampus Universitas Pertahanan Indonesia, komplek Pusat Misi Pemeliharaan Perdamaian, Bukit Hambalang, Sentul, Bogor, Jawa Barat, Senin (16/11/2015).
Dia berharap strategi pertahanan nonmiliter bisa dirumuskan layaknya merumuskan MEF. "Mestinya bisa karena saat ini draf naskahnya sudah ada di Kemhan. Hanya tinggal menunggu inisiatif kementerian atau lembaga lain untuk menyempurnakannya," kata mantan Sekretaris Kabinet era kepemimpinan Presiden Joko Widodo ini.
Pada 2013 Andi adalah ketua Kelompok Kerja Postur Pertahanan Nirmiliter, Kemhan. Dia pula yang merumuskan postur pertahanan nirmiliter bersama Dirjen Potensi Pertahanan, Kemhan. Namun, rumusan itu tak bisa diimplementasikan karena kementerian dan lembaga lain belum merumuskan strategi nonmiliternya.
"Kementerian/lembaga lain tak menjadikan UU Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara sebagai rujukan. Mereka cenderung memakai UU teknis sehingga tak bisa merumuskan strategi nonmiliter," katanya.
Jangan heran, kata Andi, ketika asap mengepung Sumatra dan Kalimantan, tak ada kesamaan pandangan antarkementerian/lembaga dalam mengatasinya. Padahal, kata dia, ancaman nonmiliter adalah ancaman nyata yang dihadapi setiap negara, termasuk Indonesia. Ancaman seperti perang hibrida, perang cyber, atau terorisme, selalu datang setiap waktu. Tercatat, ada 40 ribu serangan cyber setiap harinya ke Indonesia.
"Negara ini lebih siap menghadapi perang terbuka. Untuk sesuatu yang bisa terjadi setiap saat, kita malah tak rapi mempersiapkannya. Kita tak punya cara menghadapi ancaman yang riil. Kita tak punya perangkatnya. Ini ironis," kata dia.
Untuk itu, dia berharap pemerintah segera membangun postur pertahanan nonmiliter agar bisa merumuskan dan mengantisipasi ancaman asimetris. Strategi pertahanan nonmiliter ini, kata Andi, relevan dengan sistem pertahanan rakyat semesta yang dianut Indonesia. "Pendidikan kewarganegaraan harus menjadi pondasinya," ujar Andi.
medcom.id, Bogor: Indonesia harus segera merampungkan strategi pertahanan nonmiliter untuk mengantisipasi ancaman di luar ancaman militer. Sejumlah ancaman nonmiliter yang saat ini mengemuka adalah terorisme. Bahkan, bencana asap yang terjadi di Sumatra dan Kalimantan belakangan ini bisa dikategorikan sebagai ancaman nonmiliter.
"TNI dan Kemhan (Kementerian Pertahanan) saja sudah merumuskan ancaman militer hingga 2024 melalui pembangunan MEF (kekuatan pokok minimal/minimum essential force). Kemungkinan ancaman militer itu sangat kecil terjadi, tapi kita sudah merumuskannya," kata pengamat militer Universitas Indonesia, Andi Widjajanto, kepada
Metrotvnews.com, di kampus Universitas Pertahanan Indonesia, komplek Pusat Misi Pemeliharaan Perdamaian, Bukit Hambalang, Sentul, Bogor, Jawa Barat, Senin (16/11/2015).
Dia berharap strategi pertahanan nonmiliter bisa dirumuskan layaknya merumuskan MEF. "Mestinya bisa karena saat ini draf naskahnya sudah ada di Kemhan. Hanya tinggal menunggu inisiatif kementerian atau lembaga lain untuk menyempurnakannya," kata mantan Sekretaris Kabinet era kepemimpinan Presiden Joko Widodo ini.
Pada 2013 Andi adalah ketua Kelompok Kerja Postur Pertahanan Nirmiliter, Kemhan. Dia pula yang merumuskan postur pertahanan nirmiliter bersama Dirjen Potensi Pertahanan, Kemhan. Namun, rumusan itu tak bisa diimplementasikan karena kementerian dan lembaga lain belum merumuskan strategi nonmiliternya.
"Kementerian/lembaga lain tak menjadikan UU Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara sebagai rujukan. Mereka cenderung memakai UU teknis sehingga tak bisa merumuskan strategi nonmiliter," katanya.
Jangan heran, kata Andi, ketika asap mengepung Sumatra dan Kalimantan, tak ada kesamaan pandangan antarkementerian/lembaga dalam mengatasinya. Padahal, kata dia, ancaman nonmiliter adalah ancaman nyata yang dihadapi setiap negara, termasuk Indonesia. Ancaman seperti perang hibrida, perang
cyber, atau terorisme, selalu datang setiap waktu. Tercatat, ada 40 ribu serangan
cyber setiap harinya ke Indonesia.
"Negara ini lebih siap menghadapi perang terbuka. Untuk sesuatu yang bisa terjadi setiap saat, kita malah tak rapi mempersiapkannya. Kita tak punya cara menghadapi ancaman yang riil. Kita tak punya perangkatnya. Ini ironis," kata dia.
Untuk itu, dia berharap pemerintah segera membangun postur pertahanan nonmiliter agar bisa merumuskan dan mengantisipasi ancaman asimetris. Strategi pertahanan nonmiliter ini, kata Andi, relevan dengan sistem pertahanan rakyat semesta yang dianut Indonesia. "Pendidikan kewarganegaraan harus menjadi pondasinya," ujar Andi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(UWA)