Fahri Hamzah akan menempuh jalur hukum untuk menggugat DPP PKS atas pemecatan dirinya. ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga
Fahri Hamzah akan menempuh jalur hukum untuk menggugat DPP PKS atas pemecatan dirinya. ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga

Menimbang PKS Tanpa Bung Fahri

Coki Lubis • 04 April 2016 22:32
medcom.id, Jakarta: Keputusan DPP PKS memberhentikan Fahri Hamzah seharusnya bukan hal yang terlalu mengejutkan. Sejak rombongan kecil DPP PKS sowan ke Istana Merdeka akhir Desember 2014, sudah dapat dirasakan pergeseran perlahan arah haluan PKS dalam kapasitasnya sebagai oposisi terhadap pemerintahan Jokowi-JK.
 
Kedekatan Fahri Hamzah dengan elit politisi Koalisi Merah Putih (KMP) tiba-tiba dianggap negatif. Di era pemerintahan lalu yang PKS menjadi bagian koalisi pendukungnya, sikap khas mantan aktifis mahasiswa era reformasi '98  ini dinilai ungkapan kritis dan koreksi. Tapi sikap yang sama terhadap pemerintahan yang PKS tidak menjadi bagian koalisi pendukungnya, dinilai merugikan.
 
"Ditambah 'pengunduran diri' Taufik Ridho sebagai Sekjen DPP PKS dua bulan lalu, pasti ada susulannya. Ternyata itu pemecatan Fahri Hamzah dari keanggotaan PKS dan otomatis sebagai Wakil Ketua DPR dari FPKS," ujar Direktur Eksekutif Developing Countries Studies Center (DCSC), Zaenal A Budiyono, Senin (4/4/2016).

Secara aturan main tidak ada yang dilanggar DPP PKS dalam pemecatan ini. Di dalam pasal 87 UU MD3 disebutkan penggantian pimpinan DPR dan AKD sepenuhnya wewenang DPP parpol yang bersangkutan.
 
Namun politik juga soal strategi elektabilitas. Pemecatan sebagai kader boleh bisa memoles wajah PKS dari dampak sepak terjang Fahri Hamzah selama ini. Terutama ketika melabrak tim penyidik KPK yang dikawal polisi bersenjata lengkap ketika hendak melakukan penggeledakan di DPR dalam kasus korupsi Damayanti.
 
Hasil perolehan suara PKS dalam Pileg 2009 dan 2014 menunjukkan Fahri Hamzah menambang dukungan sangat signifikan dari daerah pemilihannya. Fahri pula salah satu motor PKS membangun ulang konsolidasi internal bahkan mendongkrak popularitas PKS yang luluh lantak gara-gara heboh kasus Fathonah dan Lutfi Hasan Ishaaq.
 
"Kekhawatiran yang ada pemecatan ini akan mengurangi kekuatan PKS dalam Pilkada 2017 dan Pileg 2019. Ingat, suara PKS yang lumayan baik pada 2009 dan 2014 terjadi di era Fahri Hamza dan faksinya Anis Matta," papar Zaenal.
 
Pemecatan ini juga memuluskan gelagat PKS untuk 'lebih ramah' terhadap Jokowi-JK. Meskipun KMP sudah bubar, namun tidak begitu saja pemerintah akan mendapatkan simpati dari politisinya dan Fahri Hamzah bersama Fadli Zon menjadi ikonnya.
 
Bila dampaknya adalah DPR yang terlalu akrab dengan pemerintah, ini sinyal kuning demokrasi. Tanpa adanya kontrol efektif dari parlemen, kekuasaan berpotensi terjerumus abuse of power. Pemerintah justru dirugikan karena kehilangan sparring partner yang tangguh dalam menyusun RAPNBN dan pengawasan program kerja.
 
"Sayangnya politisi kita kurang nyaman dengan kritik dan perbedaan, sehingga politik yang baik dikonotasikan sebagai tanpa konflik dan terus mendukung pemerintah. Ini tidak ada dalam kamus demokrasi," jelas pengajar di FISIP Universita Al Azhar Indonesia ini.
 

 
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(LHE)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan