Jakarta: Panitia Kerja (Panja) memutuskan mengganti Rancangan Undang-Undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) menjadi Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS). Tujuannya agar penegakan hukum terhadap kasus kekerasan seksual lebih mudah dilakukan.
“Ini yang menjadi catatan kita biar kemudian aparat penegak hukum bisa lebih mudah dalam menjalankan tugas-tugasnya, khususnya kepolisian dan kejaksaan,” kata Ketua Panja RUU TPKS Willy Aditya melalui keterangan tertulis, Jumat, 10 September 2021.
Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR itu mengungkapkan pergantian nama telah didiskusikan bersama berbagai elemen masyarakat. Di antaranya para pakar, Komnas Perempuan hingga MUI.
“Maka kemudian biar lebih membumi akhirnya kita pilih RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual,” ungkap dia.
Draft awal RUU TPKS kini berisi 11 bab yang terdiri 40 pasal. Ada empat bentuk kekerasan seksual yang diatur dalam naskah terbaru RUU TPKS, yaitu pelecehan seksual (fisik dan nonfisik), pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan hubungan seksual, dan eksploitasi seksual.
Willy mengatakan tidak ada pengurangan substansi kekerasan seksual dalam RUU TPKS. Baleg hanya mengharmonisasi agar RUU TPKS tidak tumpang tindih dengan UU.
Baca: NasDem Jatim Dukung Penuh Usulan RUU PKS di DPR RI
Adapun regulasi yang ditinjau, yaitu UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, UU Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan, UU Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi, UU Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT), dan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), dan berbagai jenis aturan lainnya.
“Prinsipnya apa yang sudah termaktub di dalam UU KUHP dan lain-lainnya itu kita tidak bahas di RUU TPKS," ujar Willy.
Dia memahami draf awal RUU TPKS butuh penyempurnaan. Baleg maupun Panja RUU TPKS terbuka untuk berdialog dengan seluruh elemen masyarakat, termasuk kelompok yang kontra.
“Kami terbuka dialog untuk kemaslahatan kita bersama. Jangan saling caci maki, jangan saling tuding tidak pancasilais dan sebagainya,” tutur legislator dari Dapil Jawa Timur XI ini.
Jakarta: Panitia Kerja (Panja) memutuskan mengganti Rancangan Undang-Undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual
(PKS) menjadi Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS). Tujuannya agar penegakan hukum terhadap kasus
kekerasan seksual lebih mudah dilakukan.
“Ini yang menjadi catatan kita biar kemudian aparat penegak hukum bisa lebih mudah dalam menjalankan tugas-tugasnya, khususnya kepolisian dan kejaksaan,” kata Ketua Panja RUU TPKS Willy Aditya melalui keterangan tertulis, Jumat, 10 September 2021.
Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg)
DPR itu mengungkapkan pergantian nama telah didiskusikan bersama berbagai elemen masyarakat. Di antaranya para pakar, Komnas Perempuan hingga MUI.
“Maka kemudian biar lebih membumi akhirnya kita pilih RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual,” ungkap dia.
Draft awal RUU TPKS kini berisi 11 bab yang terdiri 40 pasal. Ada empat bentuk kekerasan seksual yang diatur dalam naskah terbaru RUU TPKS, yaitu pelecehan seksual (fisik dan nonfisik), pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan hubungan seksual, dan eksploitasi seksual.
Willy mengatakan tidak ada pengurangan substansi kekerasan seksual dalam RUU TPKS. Baleg hanya mengharmonisasi agar RUU TPKS tidak tumpang tindih dengan UU.
Baca:
NasDem Jatim Dukung Penuh Usulan RUU PKS di DPR RI
Adapun regulasi yang ditinjau, yaitu UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, UU Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan, UU Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi, UU Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT), dan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), dan berbagai jenis aturan lainnya.
“Prinsipnya apa yang sudah termaktub di dalam UU KUHP dan lain-lainnya itu kita tidak bahas di RUU TPKS," ujar Willy.
Dia memahami draf awal RUU TPKS butuh penyempurnaan. Baleg maupun Panja RUU TPKS terbuka untuk berdialog dengan seluruh elemen masyarakat, termasuk kelompok yang kontra.
“Kami terbuka dialog untuk kemaslahatan kita bersama. Jangan saling caci maki, jangan saling tuding tidak pancasilais dan sebagainya,” tutur legislator dari Dapil Jawa Timur XI ini.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(NUR)