Jakarta: Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI) Harkristuti Harkrisnowo meradang mendengar respons Istana terkait pernyataan sikap pihaknya. Istana menyebut kritik terhadap pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) sebagai ulah partisan.
“Saya sangat terganggu dengan adanya tuduhan-tuduhan kepada kita semuanya yaitu bahwa gerakan-gerakan kita itu adalah gerakan yang sudah diokrestasi, buat saya itu menyinggung dan menyakitkan juga menunjukkan pemikiran yang dangkal," ujar Harkristuti dalam keterangan yang dikutip Kamis, 8 Februari 2024.
Harkristuti menyayangkan sikap istana yang menuding dengan pikiran dangkal itu. Sebab, tak mungkin ada aktor intelektual yang mampu memobilisasi sekian ratus guru besar perguruan tinggi dengan pemikiran dinamis mereka.
“Ini sangat mengerikan ketika kita dianggap berpolitik,” sambungnya.
Harkristuti menegaskan suara guru besar merupakan bentuk kepedulian. Khususnya, terhadap kondisi politik dan alam demokrasi Indonesia saat ini.
Senada, Guru Besar Ilmu Politik Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Profesor Cecep Darmawan melihat pernyataan para profesor terhadap kondisi politik Indonesia hal yang wajar. Menurut dia, hal tersebut merupakan andil mereka mencerahkan masyarakat.
“Sebetulnya kita melaksanakan Tri Dharma perguruan tinggi sebetulnya ini, setidak-tidaknya dalam kategori pengabdian masyarakat. Bagaimana memberikan pencerahan kepada masyarakat soal demokrasi kita hari ini,” kata dia.
Guru Besar Ekonomi dan Bisnis Universitas Padjajaran Profesor Arief Anshory Yusuf mengatakan sikap guru besar sangat diperlukan. Sebab, ada implikasi situasi politik dewasa ini jelas ada implikasinya terhadap ekonomi Indonesia.
“Karena kalau kualitas demokrasi kita menurun turus, pada akhirnya kekuasaan di segelintir kelompok kalau dalam buku ini disebut sebagai extractive political and economic institution, oligarki. Ini akan membuat kita menjadi negara gagal,” ungkap dia.
Jika demokrasi Indonesia menurun, kata dia, cita-cita menjadi negara maju sulit ditempuh. Apalagi, mewujudkan mimpi Indonesia Emas di tahun 2045.
“Sehingga harapan kita menjadi negara yang maju di tahun 2045, Indonesia Emas, itu mungkin akan membuat kita menjadi Indonesia gemas dan membuat kita cemas,” jelas dia.
Jakarta: Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI) Harkristuti Harkrisnowo meradang mendengar respons Istana terkait pernyataan sikap pihaknya. Istana menyebut
kritik terhadap pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) sebagai ulah partisan.
“Saya sangat terganggu dengan adanya tuduhan-tuduhan kepada kita semuanya yaitu bahwa gerakan-gerakan kita itu adalah gerakan yang sudah diokrestasi, buat saya itu menyinggung dan menyakitkan juga menunjukkan pemikiran yang dangkal," ujar Harkristuti dalam keterangan yang dikutip Kamis, 8 Februari 2024.
Harkristuti menyayangkan sikap istana yang menuding dengan pikiran dangkal itu. Sebab, tak mungkin ada aktor intelektual yang mampu memobilisasi sekian ratus guru besar perguruan tinggi dengan pemikiran dinamis mereka.
“Ini sangat mengerikan ketika kita dianggap berpolitik,” sambungnya.
Harkristuti menegaskan suara guru besar merupakan bentuk kepedulian. Khususnya, terhadap kondisi politik dan alam demokrasi Indonesia saat ini.
Senada,
Guru Besar Ilmu Politik Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Profesor Cecep Darmawan melihat pernyataan para profesor terhadap kondisi politik Indonesia hal yang wajar. Menurut dia, hal tersebut merupakan andil mereka mencerahkan masyarakat.
“Sebetulnya kita melaksanakan Tri Dharma perguruan tinggi sebetulnya ini, setidak-tidaknya dalam kategori pengabdian masyarakat. Bagaimana memberikan pencerahan kepada masyarakat soal demokrasi kita hari ini,” kata dia.
Guru Besar Ekonomi dan Bisnis Universitas Padjajaran Profesor Arief Anshory Yusuf mengatakan sikap guru besar sangat diperlukan. Sebab, ada implikasi situasi politik dewasa ini jelas ada implikasinya terhadap ekonomi Indonesia.
“Karena kalau kualitas demokrasi kita menurun turus, pada akhirnya kekuasaan di segelintir kelompok kalau dalam buku ini disebut sebagai extractive political and economic institution, oligarki. Ini akan membuat kita menjadi negara gagal,” ungkap dia.
Jika demokrasi Indonesia menurun, kata dia, cita-cita menjadi negara maju sulit ditempuh. Apalagi, mewujudkan mimpi Indonesia Emas di tahun 2045.
“Sehingga harapan kita menjadi negara yang maju di tahun 2045, Indonesia Emas, itu mungkin akan membuat kita menjadi Indonesia gemas dan membuat kita cemas,” jelas dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(ADN)