Buku merah yang ditulis Presiden ke-6 RI, Susilo Bambang Yudhoyono, viral di media sosial setelah anaknya, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) diangkat menjadi Menteri ATR. Dok. Tangkapan Layar.
Buku merah yang ditulis Presiden ke-6 RI, Susilo Bambang Yudhoyono, viral di media sosial setelah anaknya, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) diangkat menjadi Menteri ATR. Dok. Tangkapan Layar.

Buku Merah SBY Viral Usai AHY Jadi Menteri, Apa Isinya?

Imanuel R Matatula • 22 Februari 2024 18:54
Jakarta: Buku merah yang ditulis Presiden ke-6 RI, Susilo Bambang Yudhoyono, viral di media sosial setelah anaknya, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) diangkat menjadi Menteri Agraria dan Tata Ruang atau Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN). Buku tersebut diduga turut mengkritik Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang cawe-cawe dalam Pemilu 2024.
 
Buku berjudul, Pilpres 2024 dan Cawe-Cawe Presiden Jokowi, itu ditulis SBY pada 2023. Buku dengan cover dominan berwarna merah serta garis hitam ini diterbitkan SBY pada 18 Juni 2023.
 
Dalam 24 halaman, SBY memberikan pandangannya mengenai kata cawe-cawe, hingga mengomentaro tindak tanduk Jokowi yang diduga berpihak dalam Pemilu 2024. Medcom.id sedikit mengutip pendapat SBY soal konotasi kata cawe-cawe.

“Saya ikut tertarik untuk bicara soal cawe-cawenya Jokowi dalam Pemilihan Presiden Tahun 2024 mendatang. Nampaknya masyarakat kita terbelah memaknai istilah cawe-cawe,” dikutip dari Buku SBY, Pilpres 2024 dan Cawe-Cawe Presiden Jokowi, pada Kamis, 22 Februari 2024

2 Konotasi Cawe-cawe

Pada bagian awal buku, SBY menjelaskan makna dari cawe-cawe yang sering dipakai atas tindakan Jokowi selama proses Pemilu 2024.
 
“Ini berasal dari bahasa Jawa, barangkali saudara-saudara kita yang tidak bersuku Jawa mengalami kesulitan untuk menangkap apa yang dimaksud Jokowi dengan cawe-cawe,” tulis SBY.
 
Baca juga: Pelantikan AHY Sebagai Menteri Dinilai Semata Kepentingan Politik Jokowi

SBY menyampaikan cawe-cawe memiliki dua konotasi. Bisa positif, tapi juga negatif.
 
SBY memberikan contoh dari masing-masing konotasi tersebut. "Seorang istri berkata kepada suaminya, Pak, anak kita yang nomor dua ini, Kardi, malasnya bukan main. Bersihkan kamar malas, belajar malas. Saya lihat kawan-kawannya juga enggak karu-karuan. Mbok jangan dibiarkan to Pak. Nanti jadi apa dia kalau sudah dewasa. Bapak mesti cawe-cawe. Saya yakin dia akan mendengarkan kata-kata ayahnya.”
 
SBY menyebut pernyataan itu contoh cawe-cawe berkonotasi negatif. Sang anak Kardi, yang merasa tidak suka selalu didikte orang tuanya, kemudian menjawab, "Kenapa sih Bapak sama Ibu selalu mencampuri urusan Kardi. Enggak usah cawe-cawe. Ini urusanku, aku yang menentukan," tulis SBY dalam buku merahnya.

Pengalaman Ikut Cawe-cawe

SBY juga bercerita soal pengalamannya dulu saat ikut cawe-cawe menyelesaikan pertikaian antara KPK dan Polri.
 
“Saya memutuskan dan melakukan tindakan untuk menengahi sengketa itu agar segera selesai dan tidak makin menjadi-jadi,” ungkap SBY.
 
Saat itu, SBY mengundang pimpinan KPK dan Kapolri untuk mencari jalan keluar atas permasalahan yang ada. Selama dua hari dua malam, akhirnya langkah konkret tercipta.
 
"Satu catatan kecil, ketika saya tengah menyelesaikan persengketaan tersebut secara maraton, di Jakarta ada unjuk rasa yang lumayan besar dengan membawa spanduk KPK (Ke Mana Presiden Kita). Tetapi saya tidak berang, karena lebih baik saya hemat bicara dulu agar kerja yang saya lakukan tidak gagal," tulis SBY.
 
Saat itu, SBY mengaku lebih memilih irit bicara, tapi bertindak tanpa diketahui banyak orang.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(AZF)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan