medcom.id, Jakarta: Revisi Undang-undang penyiaran nomor 32 tahun 2002 hingga kini belum juga rampung. Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) mencatat, pembahasan RUU Penyiaran telah dibahas sejak 2008. Namun belum mendapat titik temu hingga sekarang.
"Ini RUU yang paling lama dibahas dan tidak pernah mencapai kesepakatan,” kata Komisioner KPI Agung Satriyo, dalam diskusi RUU Penyiaran, Demokrasi dan Masa Depan Media, di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu 21 Oktober 2017.
KPI khawatir tahun ini RUU penyiaran belum menemukan titik temu. Sehingga, terpaksa masih harus menggunakan UU Penyiaran yang telah usang, yang tak mengikuti perkembangan teknologi saat ini. "Ini mandek di DPR, karena satu hal siapa pengelola mux pada era digital,” ungkapnya.
Dia menjelaskan, pembahasan RUU Penyiaran kali ini masih mandek apakah single mux atau multi mux. Sejumlah dugaan muncul, bila single mux akan terjadi otoriterian. Sementara bila multi mux dikhawatirkan pihak swasta bakal menerapkan harga sewa yang mahal. "Ini cukup pelik sampai sekarang enggak ketemu titik temu. Itu-itu saja perdebatannya,” ujarnya.
Baca: Skema Single Mux Bebani Investor Televisi
KPI menilai, uji coba single mux telah dilakukan melalui TVRI. Namun, banyak keluhan lantaran mindset dari TVRI yang dianggap terlalu lawas, sehingga tak ada terobosan. Dikhawatirkan bila single mux, TVRI tak mampu menampung saluran tv lainnya yang sudah berwawasan global.
"ATVSI ini dia beranggapan, kita sudah membangun tower. Kalau pakai single mux, tower tak terpakai. Dianggap sia-sia karena tak terpakai nanti. Ini tidak fair, (swasta)kita sudah bangun infrastruktur dan diambil alih negara,” jelasnya.
Sementara itu, kata Agung, single mux telah sesuai dengan filosofi dari UUD yakni bumi, air, dan kekayaan negara dikuasai negara untuk kepentingan masyarakat.
Selain itu, dia menilai, bila menggunakan single mux dugaan otoriterian dianggap bisa mematikan demokrasi. Meskipun, dalam UU Nomor 32 tentang Penyiaran pemerintah tidak bisa menutip saluran.
“Yang bisa (menutup) hanya KPI. Semakin banyak tv dalam era digital maka demokrasi akan makin berkualitas. Dalam digital ada digital dividen jadi internet makin bagus, kalau internet makin besar maka masyarakat akan menerima bukan hanya tv tapi internet,” bebernya.
medcom.id, Jakarta: Revisi Undang-undang penyiaran nomor 32 tahun 2002 hingga kini belum juga rampung. Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) mencatat, pembahasan RUU Penyiaran telah dibahas sejak 2008. Namun belum mendapat titik temu hingga sekarang.
"Ini RUU yang paling lama dibahas dan tidak pernah mencapai kesepakatan,” kata Komisioner KPI Agung Satriyo, dalam diskusi RUU Penyiaran, Demokrasi dan Masa Depan Media, di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu 21 Oktober 2017.
KPI khawatir tahun ini RUU penyiaran belum menemukan titik temu. Sehingga, terpaksa masih harus menggunakan UU Penyiaran yang telah usang, yang tak mengikuti perkembangan teknologi saat ini. "Ini mandek di DPR, karena satu hal siapa pengelola mux pada era digital,” ungkapnya.
Dia menjelaskan, pembahasan RUU Penyiaran kali ini masih mandek apakah single mux atau multi mux. Sejumlah dugaan muncul, bila single mux akan terjadi otoriterian. Sementara bila multi mux dikhawatirkan pihak swasta bakal menerapkan harga sewa yang mahal. "Ini cukup pelik sampai sekarang enggak ketemu titik temu. Itu-itu saja perdebatannya,” ujarnya.
Baca: Skema Single Mux Bebani Investor Televisi
KPI menilai, uji coba single mux telah dilakukan melalui TVRI. Namun, banyak keluhan lantaran mindset dari TVRI yang dianggap terlalu lawas, sehingga tak ada terobosan. Dikhawatirkan bila single mux, TVRI tak mampu menampung saluran tv lainnya yang sudah berwawasan global.
"ATVSI ini dia beranggapan, kita sudah membangun tower. Kalau pakai single mux, tower tak terpakai. Dianggap sia-sia karena tak terpakai nanti. Ini tidak fair, (swasta)kita sudah bangun infrastruktur dan diambil alih negara,” jelasnya.
Sementara itu, kata Agung, single mux telah sesuai dengan filosofi dari UUD yakni bumi, air, dan kekayaan negara dikuasai negara untuk kepentingan masyarakat.
Selain itu, dia menilai, bila menggunakan single mux dugaan otoriterian dianggap bisa mematikan demokrasi. Meskipun, dalam UU Nomor 32 tentang Penyiaran pemerintah tidak bisa menutip saluran.
“Yang bisa (menutup) hanya KPI. Semakin banyak tv dalam era digital maka demokrasi akan makin berkualitas. Dalam digital ada digital dividen jadi internet makin bagus, kalau internet makin besar maka masyarakat akan menerima bukan hanya tv tapi internet,” bebernya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(YDH)