Ilustrasi Gedung DPR. Foto: MI/Susanto
Ilustrasi Gedung DPR. Foto: MI/Susanto

Prakosa: Tudingan Kunker Fiktif DPR tak Berdasar

Misbahol Munir • 14 Mei 2016 18:53
medcom.id, Jakarta: Isu tak mengenakkan kembali melanda Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) terkait tudingan melakukan kunjungan kerja (Kunker) fiktif. Hasil audit ‎Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan dugaan kunker fiktif DPR sehingga negara berpotensi mengalami kerugian senilai Rp945 miliar.‎

Menjawab tudingan itu, ‎Anggota DPR dari Fraksi PDI Perjuangan, M.Prakosa menyatakan, tudingan itu kurang berdasar. Sebab dugaan fiktif muncul karena sistem pertanggungjawaban yang dibuat bagi anggota dewan adalah lumpsum.
 
‎Sebab, kegiatan politik seperti kunker tidak bisa diatur orang lain. Yang menentukan adalah politikus itu sendiri, apakah masih ingin terpilih atau tidak. 
 
"Yang memutuskan dia hadir atau tidak dalam suatu rapat atau kunjungan, ya politisi itu sendiri. Karena itu pertanggungjawaban dibuat lumpsum. Lumpsum pun sebenarnya tidak pas," kata Prakosa dalam keterangan tertulisnya, Sabtu (14/5/2016).

Sistem yang pas lanjut dia, adalah seperti yang dipraktikkan di negara-negara dengan pemilihan langsung. Yakni politisi mendapat suatu jumlah biaya tertentu dalam satu tahun untuk kebutuhan bertemu konstituen dan kunker.
 
Dari situ, apakah si anggota memakai staf atau tidak untuk daerah pemilihan masing-masing, akan menjadi keputusan politiknya.
 
"Sementara kalau DPR kita sekarang ini sebenarnya merendahkan martabatnya sendiri. Karena kalau kita akan kunjungan dapil, harus minta uang ke Sekjen SPR. Setelah Sekjen oke, baru kita bisa ke dapil," ujar dia.
 
Dengan praktik demikian, anggota dewan sepertinya berada di bawah Sekjen DPR, paling tidak dalam hak keuangan. 
 
"Sementara anggota parlemen di negara-negara lain pasti punya hak keuangan, tidak seperti di Indonesia yang diperlakukan seperti pegawai. Masa akan melakukan kegiatan harus minta Sekjen? Dan setelah selesai kegiatan harus membuat laporan pertanggungjawaban?" kata Prakosa.
 
Dia menambahkan, "Sekjen seakan seperti atasan yang memutuskan kita untuk dapat  berkegiatan. Sekjen DPR itu kan bagian dari Eksekutif atau Pemerintah. Jadinya, kalau mau melakukan kegiatan politik adalah harus izin Pemerintah atau eksekutif."‎
 
Adalah Wakil Ketua Fraksi PDI Perjuangan di DPR Hendrawan Supratikno yang pertama kali mengatakan, dugaan adanya potensi kerugian negara dalam kunker perseorangan anggota DPR.
 
BPK menemukan potensi kerugian negara sebesar Rp945.465.000.000 dalam kunker perseorangan yang dilakukan anggota DPR RI. Laporan ini sudah diterima oleh Sekretariat Jenderal DPR dan diteruskan ke 10 fraksi di DPR.‎

 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(MBM)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan