Jakarta: Presiden Joko Widodo (Jokowi) bisa menghapus pasal 27 ayat (3) dan 28 ayat (2) Undang-Undang (UU) Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) jika dianggap mendesak. Penghapusan itu dilakukan melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu)
"Kalau dirasakan mendesak, ya pilihannya Perppu," kata pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, kepada Medcom.id, Kamis, 18 Februari 2021.
Dia menilai kedua pasal itu tidak jelas. Sebab, tafsirnya terlalu luas. Akibatnya, masyarakat dengan mudah saling lapor akibat perbedaan pendapat.
"Sehingga tidak terhindarkan selain suasana saling menuntut lebih jauh menghambat dan melelahkan demokrasi," kata dia.
Baca: Langkah Kapolri Membuat Pedoman Penanganan Pelanggaran Pasal Karet Didukung
Menurut dia, pasal 27 ayat (3) dan 28 ayat (2) seharusnya dihapus. Sebab, pencemaran nama baik atau ujaran kebencian berdasarkan suku, agama, ras dan antargolongan tidak berkaitan dengan aktivitas bisnis.
Abdul menyampaikan semangat utama pembuatan UU ITE mengatur ekosistem bisnis dan perdagangan melalui daring atau online. "Justru Pasal 28 ayat (2) UU ITE itu mengaburkan substansin UU tersebut," kata dia.
Selain itu, kedua pasal bermasalah UU ITE lebih sering digunakan untuk membungkam kelompok yang berbeda dan mengkritik pemerintah. Hal ini memberikan citra negatif bagi aparat penegak hukum.
"Pelaksanaan UU ITE ini mengesankan seolah-olah penegak hukum kepolisian dan kejaksaan menjadi alat dari kekuasaan untuk membungkam kritik," ujar dia.
Jakarta: Presiden
Joko Widodo (Jokowi) bisa menghapus pasal 27 ayat (3) dan 28 ayat (2) Undang-Undang (UU) Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) jika dianggap mendesak. Penghapusan itu dilakukan melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu)
"Kalau dirasakan mendesak, ya pilihannya Perppu," kata pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, kepada
Medcom.id, Kamis, 18 Februari 2021.
Dia menilai kedua pasal itu tidak jelas. Sebab, tafsirnya terlalu luas. Akibatnya, masyarakat dengan mudah saling lapor akibat perbedaan pendapat.
"Sehingga tidak terhindarkan selain suasana saling menuntut lebih jauh menghambat dan melelahkan demokrasi," kata dia.
Baca:
Langkah Kapolri Membuat Pedoman Penanganan Pelanggaran Pasal Karet Didukung
Menurut dia, pasal 27 ayat (3) dan 28 ayat (2) seharusnya dihapus. Sebab, pencemaran nama baik atau ujaran kebencian berdasarkan suku, agama, ras dan antargolongan tidak berkaitan dengan aktivitas bisnis.
Abdul menyampaikan semangat utama pembuatan
UU ITE mengatur ekosistem bisnis dan perdagangan melalui daring atau
online. "Justru Pasal 28 ayat (2) UU ITE itu mengaburkan substansin UU tersebut," kata dia.
Selain itu, kedua pasal bermasalah UU ITE lebih sering digunakan untuk membungkam kelompok yang berbeda dan mengkritik pemerintah. Hal ini memberikan citra negatif bagi aparat penegak hukum.
"Pelaksanaan UU ITE ini mengesankan seolah-olah penegak hukum kepolisian dan kejaksaan menjadi alat dari kekuasaan untuk membungkam kritik," ujar dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(JMS)