medcom.id, Jakarta: Banyak pihak menaruh harapan besar setelah Joko Widodo dan Jusuf Kalla terpilih dan resmi dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden periode 2014-2019. Harapan paling sederhana masyarakat adalah peningkatan kualitas hidup.
Untuk mengukur kualitasi hidup warga Indonesia tidak sulit. Setidaknya bisa dilihat dari tingkat pendidikan rata-rata, pelayanan kesehatan, dan pendapatan. Dibandingkan negara tetangga, seperti Malaysia dan Singapura, Indonesia masih tertinggal jauh.
Masalah itu muncul dalam Focus Group Discussion (FGD) bertajuk Setahun Jokowi-JK yang digelar Media Research Center (MRC), lembaga riset berbasis media di bawah naungan Media Group, yang digelar awal bulan ini di Kompleks Media Group, Kedoya, Jakarta Barat.
Satu tahun Jokowi-JK memerintah belum ada perubahan peningkatan kualitas pendidikan manusia Indonesia. Praktisi pendidikan sekaligus guru SMA 13 Jakarta Retno Listiyarti mengatakan, kualitas siswa Indonesia sejak 2003 hingga 2015 belum berubah.
"Brdasarkan assesment internasional, yaitu test PISA (membaca) dan TIMMS (bernalar) posisi siswa Indonesia selalu jeblok mulai 2003, 2006, 2009 dan 2012," kata Retno.
Keprihatinan serupa muncul dari Ketua PP Muhammadiyah Hajriyanto Y. Thohari. Ia mengaku miris dengan pendidikan di negeri ini. Meskipun lebih dahulu merdeka ketimbang Malaysia dan Singapura, Indonesia justru kalah dalam kualitas pendidikan.
"Angka resmi yang jarang sekali dipublikasikan menujukkan pada kita tingkat pendidikan rata-rata bangsa Indonesia sekarang ini baru kelas delapan atau kelas dua SMP. Bandingkan dengan Malaysia yang merdeka lebih belakangan itu sudah SMA kelas tiga. Singapura bahkan lebih tinggi daripada itu, diploma satu," ujar Hajriyanto.
Tentu sulit mengejawantahkan program-program yang dicanangkan bila kualitas sumber daya manusianya masih rendah. "Bisa dibayangkan bagaimana kira-kira dengan rakyat, tingkat pendidikan rata-rata seperti itu dimobilisasi mendukung program yang dikemas dalam Nawacita oleh Presiden Jokowi," tegas Hajriyanto.
Menurut Hajriyanto, hal ini harus menjadi perhatian serius Jokowi-JK di empat tahun ke depan. "Ini menunjukan belum adanya sebuah strategi kebudayaan dimana dalam Nawacita itu ada program Indonesia Pintar. Ya tentu ukuran kepintaran yang paling simpel adalah tingkat pendidikan rata-rata," tegas dia.
Infografis,--Dok/Metrotvnews.com
Kualitas pendidikan yang rendah juga tercermin pada tenaga kerja. Saat ini komposisi tenaga kerja Indonesia 52% masih lulusan sekolah dasar (SD). "Ini beberapa hal yang perlu mendapatkan perhatian ketika kita mengevaluasi satu tahun kepemimpinan Jokowi," katanya.
Yang dikhawatirkan Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Azzumardi Azra, problem kualitas hidup bangsa bisa melahirkan kesenjangan sosial. Bila terlambat ditangani akan mengancam persatuan bangsa.
"Kalau yang sekarang ini kelas menengah ke kelas atas, middle dan upper class, tidak mengalami krisis ekonomi sama sekali, enggak mempermasalahkan, ekonomi mereka saya kira tetap. Tapi yang di bawah enggak bergerak sama sekali, terutama yang lower-lower class itu penghasilannya cuma Rp10.000 atau Rp20.000 sehari. Itu kan rendah sekali. Maka kemudian persatuan Indonesia itu susah, terancam sekali," tegas dia.
Budayawan I Sandyawan Sumardi menilai, fenomena dominasi ini sudah mewabah di negeri Pancasila ini. Kondisi ini seakan bertolak belakang seiring bertambahnya konglomerat dari Indonesia yang tercatat dalam sebuah majalah internasional.
"Coba hitung ada berapa konglomerat di Indonesia, yang sering dicatat masuk dalam 100 orang dengan kekayaan nomor wahid di dunia. De facto yang paling menikmati bagian terbesar hasil pembangunan ekonomi Indonesia itu mereka. Bandingkan dengan kurang lebih 40-60 juta manusia Indonesia yang berada di bawah garis kemiskinan, yang hidup dengan 2/3 USD per hari," ujar Sandyawan.
Hal ini semakin diperparah oleh sikap koruptif para penyelenggara negara. Sehingga program pemerataan seperti pelayanan pendidikan, kesehatan dan pendapatan ikut terkena imbasnya. Karena itu, ke depan ia meminta Presiden Jokowi mendorong kebijakan yang memastikan terjadinya pemerataan.
medcom.id, Jakarta: Banyak pihak menaruh harapan besar setelah Joko Widodo dan Jusuf Kalla terpilih dan resmi dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden periode 2014-2019. Harapan paling sederhana masyarakat adalah peningkatan kualitas hidup.
Untuk mengukur kualitasi hidup warga Indonesia tidak sulit. Setidaknya bisa dilihat dari tingkat pendidikan rata-rata, pelayanan kesehatan, dan pendapatan. Dibandingkan negara tetangga, seperti Malaysia dan Singapura, Indonesia masih tertinggal jauh.
Masalah itu muncul dalam Focus Group Discussion (FGD) bertajuk Setahun Jokowi-JK yang digelar Media Research Center (MRC), lembaga riset berbasis media di bawah naungan Media Group, yang digelar awal bulan ini di Kompleks Media Group, Kedoya, Jakarta Barat.
Satu tahun Jokowi-JK memerintah belum ada perubahan peningkatan kualitas pendidikan manusia Indonesia. Praktisi pendidikan sekaligus guru SMA 13 Jakarta Retno Listiyarti mengatakan, kualitas siswa Indonesia sejak 2003 hingga 2015 belum berubah.
"Brdasarkan assesment internasional, yaitu test PISA (membaca) dan TIMMS (bernalar) posisi siswa Indonesia selalu jeblok mulai 2003, 2006, 2009 dan 2012," kata Retno.
Keprihatinan serupa muncul dari Ketua PP Muhammadiyah Hajriyanto Y. Thohari. Ia mengaku miris dengan pendidikan di negeri ini. Meskipun lebih dahulu merdeka ketimbang Malaysia dan Singapura, Indonesia justru kalah dalam kualitas pendidikan.
"Angka resmi yang jarang sekali dipublikasikan menujukkan pada kita tingkat pendidikan rata-rata bangsa Indonesia sekarang ini baru kelas delapan atau kelas dua SMP. Bandingkan dengan Malaysia yang merdeka lebih belakangan itu sudah SMA kelas tiga. Singapura bahkan lebih tinggi daripada itu, diploma satu," ujar Hajriyanto.
Tentu sulit mengejawantahkan program-program yang dicanangkan bila kualitas sumber daya manusianya masih rendah. "Bisa dibayangkan bagaimana kira-kira dengan rakyat, tingkat pendidikan rata-rata seperti itu dimobilisasi mendukung program yang dikemas dalam Nawacita oleh Presiden Jokowi," tegas Hajriyanto.
Menurut Hajriyanto, hal ini harus menjadi perhatian serius Jokowi-JK di empat tahun ke depan. "Ini menunjukan belum adanya sebuah strategi kebudayaan dimana dalam Nawacita itu ada program Indonesia Pintar. Ya tentu ukuran kepintaran yang paling simpel adalah tingkat pendidikan rata-rata," tegas dia.
Infografis,--Dok/Metrotvnews.com
Kualitas pendidikan yang rendah juga tercermin pada tenaga kerja. Saat ini komposisi tenaga kerja Indonesia 52% masih lulusan sekolah dasar (SD). "Ini beberapa hal yang perlu mendapatkan perhatian ketika kita mengevaluasi satu tahun kepemimpinan Jokowi," katanya.
Yang dikhawatirkan Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Azzumardi Azra, problem kualitas hidup bangsa bisa melahirkan kesenjangan sosial. Bila terlambat ditangani akan mengancam persatuan bangsa.
"Kalau yang sekarang ini kelas menengah ke kelas atas, middle dan upper class, tidak mengalami krisis ekonomi sama sekali, enggak mempermasalahkan, ekonomi mereka saya kira tetap. Tapi yang di bawah enggak bergerak sama sekali, terutama yang lower-lower class itu penghasilannya cuma Rp10.000 atau Rp20.000 sehari. Itu kan rendah sekali. Maka kemudian persatuan Indonesia itu susah, terancam sekali," tegas dia.
Budayawan I Sandyawan Sumardi menilai, fenomena dominasi ini sudah mewabah di negeri Pancasila ini. Kondisi ini seakan bertolak belakang seiring bertambahnya konglomerat dari Indonesia yang tercatat dalam sebuah majalah internasional.
"Coba hitung ada berapa konglomerat di Indonesia, yang sering dicatat masuk dalam 100 orang dengan kekayaan nomor wahid di dunia. De facto yang paling menikmati bagian terbesar hasil pembangunan ekonomi Indonesia itu mereka. Bandingkan dengan kurang lebih 40-60 juta manusia Indonesia yang berada di bawah garis kemiskinan, yang hidup dengan 2/3 USD per hari," ujar Sandyawan.
Hal ini semakin diperparah oleh sikap koruptif para penyelenggara negara. Sehingga program pemerataan seperti pelayanan pendidikan, kesehatan dan pendapatan ikut terkena imbasnya. Karena itu, ke depan ia meminta Presiden Jokowi mendorong kebijakan yang memastikan terjadinya pemerataan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(MBM)