Bali: Razia buku berlabel komunisme menuai kritik. Politikus PDI Perjuangan Adian Napitupulu menilai razia buku membuat mahasiswa sulit mengetahui fakta sesungguhnya.
"Bagaimana mahasiswa tahu itu berbahaya atau tidak, kalau dia tidak pernah membaca. Bebaskan saja membaca apapun, biar dia mikir sendiri," kata Adian saat diskusi "Demokrasi Arus Bawah" yang digelar PDIP di sela-sela Kongres V PDIP di Bali, Jumat, 9 Agustus 2019.
Adian menegaskan razia buku tak bisa dibenarkan. Apalagi paham kiri telah terbukti kalah. Negara yang mengimplementasikan paham itu juga sudah tak banyak. Tiongkok pun mengakui komunisme yang dianut tak murni.
"Mereka komunis di dalam, tapi watak kapitalismenya keluar menjalar ke mana-mana," kata Adian.
Menurut dia, mahasiswa dan akademisi harus dibiarkan membaca buku tersebut. Dengan begitu, mereka tertuntun ke jalan tengah.
Mereka tidak menganut komunis dengan pengendalian sumber daya yang dikelola negara, dan tidak menganut murni kapitalisme dengan pengelolaan pribadi di semua dimensi. "Itulah sosialis yang cirinya sederhana, buruh pabrik boleh memiliki saham pabrik, jadi tidak dikuasai pemilik modal," ujar mantan aktivis 98 itu.
Menurut dia, saat ini ideologi terus berkembang. Sehingga, mahasiswa perlu banyak membaca untuk memahami situasi itu. Jika mereka yang menempuh pendidikan tak bisa membaca, Adian menilai ada yang salah dalam sistem di Indonesia.
Adian pun menyinggung buku budayawan Franz Magnis Suseno yang ikut dirazia. Padahal, isinya menentang komunisme. Buku itu disita hanya karena bersampul Karl Marx. "Ini kan menjadi suatu tragedi, padahal orang bilang lawan buku dengan buku, lawan tulisan dengan tulisan, lawan kata dengan kata. Di zaman Orba kata-kata dilawan dengan senjata," jelas dia.
Seperti diketahui, belakangan terjadi razia buku di sejumlah tempat. Tanggal 27 Juli 2019, aparat menyita sejumlah buku kiri di Probolinggo. Selain itu, ormas yang menamakan diri Brigade Muslim Indonesia merazia buku karya Franz Magnis Suseno berjudul "Pemikiran Karl Marx: Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme” dan “Dalam Bayang-Bayang Lenin: Enam Pemikiran Marxisme dari Lenin sampai Tan Malaka”. Padahal, kedua buku tersebut justru mengkritisi Marxisme dan Leninisme.
Razia buku sebenarnya sudah tidak diperbolehkan, kecuali ada perintah pengadilan. Larangan itu berlaku sejak keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi tahun 2010 yang mencabut Undang-undang Nomor 4/PNPS/1963 tentang Pengamanan terhadap Barang-barang Cetakan yang Isinya Mengganggu Ketertiban Umum.
Bali: Razia buku berlabel komunisme menuai kritik. Politikus PDI Perjuangan Adian Napitupulu menilai razia buku membuat mahasiswa sulit mengetahui fakta sesungguhnya.
"Bagaimana mahasiswa tahu itu berbahaya atau tidak, kalau dia tidak pernah membaca. Bebaskan saja membaca apapun, biar dia mikir sendiri," kata Adian saat diskusi "Demokrasi Arus Bawah" yang digelar PDIP di sela-sela Kongres V PDIP di Bali, Jumat, 9 Agustus 2019.
Adian menegaskan razia buku tak bisa dibenarkan. Apalagi paham kiri telah terbukti kalah. Negara yang mengimplementasikan paham itu juga sudah tak banyak. Tiongkok pun mengakui komunisme yang dianut tak murni.
"Mereka komunis di dalam, tapi watak kapitalismenya keluar menjalar ke mana-mana," kata Adian.
Menurut dia, mahasiswa dan akademisi harus dibiarkan membaca buku tersebut. Dengan begitu, mereka tertuntun ke jalan tengah.
Mereka tidak menganut komunis dengan pengendalian sumber daya yang dikelola negara, dan tidak menganut murni kapitalisme dengan pengelolaan pribadi di semua dimensi. "Itulah sosialis yang cirinya sederhana, buruh pabrik boleh memiliki saham pabrik, jadi tidak dikuasai pemilik modal," ujar mantan aktivis 98 itu.
Menurut dia, saat ini ideologi terus berkembang. Sehingga, mahasiswa perlu banyak membaca untuk memahami situasi itu. Jika mereka yang menempuh pendidikan tak bisa membaca, Adian menilai ada yang salah dalam sistem di Indonesia.
Adian pun menyinggung buku budayawan Franz Magnis Suseno yang ikut dirazia. Padahal, isinya menentang komunisme. Buku itu disita hanya karena bersampul Karl Marx. "Ini kan menjadi suatu tragedi, padahal orang bilang lawan buku dengan buku, lawan tulisan dengan tulisan, lawan kata dengan kata. Di zaman Orba kata-kata dilawan dengan senjata," jelas dia.
Seperti diketahui, belakangan terjadi razia buku di sejumlah tempat. Tanggal 27 Juli 2019, aparat menyita sejumlah buku kiri di Probolinggo. Selain itu, ormas yang menamakan diri Brigade Muslim Indonesia merazia buku karya Franz Magnis Suseno berjudul "Pemikiran Karl Marx: Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme” dan “Dalam Bayang-Bayang Lenin: Enam Pemikiran Marxisme dari Lenin sampai Tan Malaka”. Padahal, kedua buku tersebut justru mengkritisi Marxisme dan Leninisme.
Razia buku sebenarnya sudah tidak diperbolehkan, kecuali ada perintah pengadilan. Larangan itu berlaku sejak keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi tahun 2010 yang mencabut Undang-undang Nomor 4/PNPS/1963 tentang Pengamanan terhadap Barang-barang Cetakan yang Isinya Mengganggu Ketertiban Umum.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(AZF)