Ilustrasi: Tersangka penyelundup 1,6 ton sabu. Foto: Medcom.id/Ilham Wibowo
Ilustrasi: Tersangka penyelundup 1,6 ton sabu. Foto: Medcom.id/Ilham Wibowo

Revisi UU Narkotika Percepat Eksekusi Mati Bandar

06 April 2018 13:51
Jakarta: Berkomitmen perangi narkoba, Ketua DPR Bambang Soesatyo (Bamsoet) memastikan hukuman maksimal bagi bandar. DPR saat itu berkomitmen mempercepat revisi Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
 
Revisi mencakup percepatan hukuman mati bagi bandar narkoba. Juga pengetatan aturan rehabilitasi bagi mereka yang tertangkap memakai narkoba. Ia menekankan rehabilitasi jangan sampai dijadikan tempat pelarian agar tak terkena sanksi hukum.
 
"DPR tak main-main dalam merevisi UU Narkotika. Para bandar yang tertangkap akan diberikan hukuman maksimal. Bagi mereka yang sudah divonis hukuman mati, akan kita minta segera dieksekusi,” kata Bamsoet dalam keterangan tertulis, Jumat, 6 April 2018.

Ia menyoroti persoalan ini saat menerima Himpunan Masyarakat Anti Narkoba di ruang kerja Pimpinan DPR RI, Jakarta, kemarin. Bamsoet berharap, setelah revisi UU Narkotika rampung, ada tindakan yang jelas terutama bagi para pengonsumsi narkoba.
 
"Jadi tak ada lagi diskriminasi seperti artis hanya dapat sanksi rehabilitasi, sedangkan orang susah (miskin) justru dimejahijaukan," katanya.
 
Mantan ketua Komisi III ini berpendapat narkoba sudah menjadi penjajah baru yang mengancam kedaulatan bangsa dan negara. Pemberantasan narkoba, kata dia, membutuhkan kesigapan semua pihak.
 
Bamsoet menyatakan revisi UU Narkotika merupakan bukti konkret jihad DPR memerangi narkoba. Ketegasan hukuman, ujarnya, dilakukan untuk mempersempit ruang gerak pengedar narkoba.
 
Baca: Pemilik 44,7 Kg Sabu Terancam Hukuman Mati
 
Melansir data Badan Narkotika Nasional (BNN), saat ini jumlah masyarakat Indonesia yang masuk dalam fase ketergantungan narkoba mencapai 6 juta orang. Angka ini belum termasuk pengguna ganda, baik pengedar maupun masyarakat yang masih coba-coba.
 
“Terbesar di Asia. Bahkan dari penelusuran BNN, konsumen di Indonesia menggunakan 65 jenis narkotika. Padahal, jika dibandingkan negara lain, hanya mengonsumsi 5 hingga 6 jenis narkoba saja. Indonesia sudah sangat darurat narkoba,” ucapnya.
 
Efek gentar
 
Anggota Komisi III Ahmad Sahroni menilai lambatnya proses eksekusi mati tak memberikan efek gentar terhadap para bandar maupun penyelundup narkoba. Hal ini dibuktikan dengan masih ditemukannya terpidana dengan vonis mati yang melakukan pengendalian narkoba dari balik sel yang didekamnya.
 
Dengan lambatnya eksekusi mati, kata dia, terpidana dari jaringan narkoba yang telah divonis mati seolah tak perku khawatir.
 
"Mereka bahkan masih berani mengendalikan peredaran narkoba dari penjara. Penjara seolah hanya menjadi pos nyaman baru para jaringan narkoba sehingga tak perlu waswas dikejar ataupun ditembak mati aparat penegak hukum,” papar Sahroni.
 
Politisi NasDem ini mencontohkan terpidana mati Togiman alias Toge alias Tony, 60. Ia disebut bukti nyata masih melenggangnya kekuatan besar pengendalian narkoba dari balik penjara. Ia membeberkan, dua kali bandar narkoba ini divonis hukuman mati tapi belum juga dijalankan.
 
Pengungkapan 110 kilogram sabu dan 18.300 butir ekstasi oleh BNN beberapa waktu lalu akhirnya membuktikan jaringan peredaran narkotika di Aceh dan Medan ini dikendalikan oleh Toge.
 
"Ia bahkan aktor utama yang memesannya dari luar negeri,” terang Sahroni.
 

 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News

Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id
(UWA)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan