Berdasarkan hasil survei Badan Pusat Statistik (BPS), 82-85 persen pelaku usaha mengalami penurunan pendapatan. Sebanyak 53,17 persen pelaku usaha menengah dan besar, serta 62,21 persen pelaku usaha mikro dan kecil (UMK) mengeluhkan hal itu. Keduanya mengalami kendala keuangan terkait pegawai dan operasional.
“Ini beberapa survei yang menjadi latar belakang kenapa dikeluarkan SE tersebut. Jadi intinya sebagian besar perusahaan tidak mampu membayar upah meskipun sebatas upah minimum yang berlaku saat ini,” kata Ida dalam keterangan tertulisnya, Jakarta, Jumat, 30 Oktober 2020.
Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?
Baca: Kebijakan Tak Menaikkan Upah Minimum Disebut Jalan Tengah
Ida mengaku pihaknya sudah membicarakan masalah ini dengan Dewan Pengupahan Nasional (Depenas). Pembicaraan dilakukan dilakukan bersama unsur pemerintah, serikat pekerja/ buruh, dan pengusaha dilakukan secara mendalam.
“Diskusi mendalam kami lakukan dalam waktu cukup lama. Penetapan ini adalah jalan tengah yang kita ambil hasil diskusi di Depenas,” ucapnya.
Menurut Ida, tidak naiknya upah minimum bukan berarti pemerintah diam. Pemerintah tetap memberikan bantuan kepada pekerja dalam bentuk subsidi gaji/upah, kartu prakerja, dan lainnya.
“Jadi ini salah satu cara kita agar daya beli para pekerja kita tetap ada. Dan saya melihat sendiri temen-temen pekerja kita merasa terbantu dengan adanya subsidi gaji/upah dari pemerintah,” kata Ida.
Ia mengatakan dana bantuan subsidi gaji/upah bukan berasal dari Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan. Bantuan itu berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
(ADN)