medcom.id, Jakarta: 2014 menjadi tahun yang tak begitu bersinar bagi dunia perpolitikan Indonesia. Berbagai prahara, konflik, dan kejadian kurang baik menghiasi kancah perpolitikan negeri ini.
Awal 2014 sudah menjadi tahun sibuk di mana persiapan Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden gencar dilakukan. Proses menuju hari H pencoblosan pun berlangsung seru dan alot.
Saling menjatuhkan antarcaleg bukan hal asing yang terjadi. Persaingan tak hanya terjadi antarpartai, tapi juga secara internal partai. Pasalnya, sistem yang menuntut perolehan suara terbanyak membuat masing-masing kandidat berusaha merebut suara pemilih dengan cara apa pun.
PDI Perjuangan menjadi juara dalam pesta demokrasi lima tahunan itu. Partai pimpinan Megawati Soekarnoputri itu berhasil mengumpulkan 18,95 persen suara. Partai Golkar mengikuti dengan perolehan suara 14,75 persen. Gerindra di bawah pimpian Suhardi berhasil meraih angka 11,81 persen perolehan suara.
Partai Demokrat harus puas dengan perolehan suara 10,19 persen. PKB 9,04 persen, PAN 7,59 persen, PKS 6,79 persen, Partai NasDem 6,72 persen, PPP 6,53 persen dan hanura 5,26 persen.
Sementara PBB dan PKPI tak mampu memenuhi ambang batas suara untuk mengirimkan wakilnya ke Senayan. Masing-masing partai hanya mendapat suara 1,44 persen dan 0,91 persen.
Dengan komposisi suara seperti itu, masing-masing partai mulai mencari koalisinya. PDI Perjuangan berhasil merangkul Partai NasDem, PKB, Hanura dan PKPI. Setelah perdebatan dan beberapa konflik tercium, lima partai ini akhirnya mengusung Joko Widodo dan Jusuf Kalla sebagai jagoan dalam Pilpres 2014. Sementara Gerindra berhasil merangkul PKS, PPP, PAN, Golkar dan PBB untuk mengusung Prabowo Subianto-Hatta Rajasa sebagai rival Jokowi-JK.
Jokowi-JK keluar sebagai pemenang. Persoalan belum selesai. Perdebatan dan konflik panas kembali muncul. Saling tuduh dan aroma saling menjatuhkan pun kuat tercium.
Jokowi dalam Konser Salam Dua Jari.ANT/Dok
Sisa-sisa konflik ternyata masih membekas. Anggota DPR baru sudah dilantik, begitu juga Presiden. Oktober 2014 menjadi sejarah baru bagi Indonesia.
Namun, sejarah itu harus tercoreng setelah beberapa jam dilantik, drama di ruang paripurna dimulai. Aksi marah-marah, saling teriak, bahkan ada anggota yang berani naik ke mimbar pimpinan sidang menjadi tontonan memprihatinkan. Suasana kacau balau.
Beberapa hari setelahnya, perpecahan internal beberapa partai kembali meruncing. PPP menjadi salah satu partai terheboh yang mempertontonkan dualisme kepemimpinan. Muktamar terbelah. Ketua Umum dan kepengurusan menjadi dua.
Perpecahan ini pun mau tak mau memengaruhi kondisi politik baik bagi Koalisi Merah Putih (KMP) maupun Koalisi Indonesia Hebat (KIH). PPP menjadi rebutan.
Perdamaian KMP dan KIH.ANT/Izmar Patrizki
Tak mendapat jatah dalam paket Pimpinan DPR membuat PPP kecewa. Demokrat, sebagai partai yang dituding bermain dua kaki karena tak menyatakan diri bergabung di dua kubu justru mendapat keuntungan dengan diberi jatah satu kursi pimpinan.
PPP Kecewa. Dalam paket pimpinan MPR, PPP menyeberang dari KMP menuju KIH. Namun tetap, kehadiran PPP sama sekali tak membantu. KMP menang dan berhasil mendudukkan kadernya sebagai Pimpinan MPR.
Perebutan kursi pimpinan selesai, tapi tidak dengan konfliknya. DPR terbelah. Kekecewaan KIH ditunjukkan dengan membuat DPR tandingan. Kubu KIH bahkan membentuk alat kelengkapan dewan (AKD) sendiri, lengkap dengan seluruh pimpinannya.
DPR tak bisa bekerja dalam kondisi ini. Beberapa elite menyayangkan bahkan menuding drama ini merugikan. Wajar, karena lebih dari satu bulan DPR sibuk dengan persoalannya sendiri, lupa akan amanat rakyat.
Perpecahan sama sekali tak bisa didamaikan sampai terjadi kesepakatan antara dua kubu. Namun, kesepakatan tetap diikuti aksi walk out karena kecewa akan beberapa kebijakan. Salah satunya, perubahan UU MD3 yang berlarut-larut.
Namun, kedua kubu akhirnya menemukan titik sepakat hingga akhirnya AKD lengkap bisa terbentuk dan sidang di tiap-tiap komisi bisa dijalankan.
Sidang revisi UU MD3 di DPR.ANT/Izmar Patrizki
Apakah persoalan selesai? Tidak!
Partai Golkar tiba-tiba datang dengan konflik besar. Partai Golkar ikut terpecah. Dualisme kepemimpinan kembali terjadi. Ketua Umum menjadi dua, yakni Aburizal Bakrie dan Agung Laksono.
Perpecahan Golkar tentu memberi pengaruh pada konstelasi politik DPR. Keberpihakan pada KMP dan KIH makin nyata terlihat. Pecahnya suara Golkar tentu ikut menentukan nasib Perppu Pilkada yang digiat Ketua Umum Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono di akhir masa jabatannya sebagai presiden.
Konflik Golkar belum selesai hingga kini. Nasib Perppu Pilkada yang membuat heboh negeri ini juga belum jelas. Arah dunia perpolitikan Indonesia pun sama sekali belum teramalkan.
Buruknya citra DPR yang dipertontonkan hingga kini membuat berbagai reaksi keras bermunculan. Salah satunya dari pengamat politik Sebastian Salang. ia menilai sama sekali tak ada hal positif yang dilakukan DPR sepanjang 2014. Ini berdampak sangat buruk terhadap citra Parlemen.
"Hampir bisa kita pastikan bahwa tidak ada hal positif yang dilakukan DPR. Kepercayaan masyarakat ke DPR hancur di awal masa jabatannya," kata Koordinator Forum Masyarakat Perduli Parlemen Indonesia (Formappi) ini di Kedai Kopi Deli, Jalan Sunda, Menteng, Jakarta Pusat, Senin (22/12/2014).
Anggota DPR.MI/Mohamad Irfan
Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) pun merilis catatan akhir tahun 2014 terkait kompetisi, perubahan dan pembelahan politik. Catatan yang mengkhususkan pada kinerja DPR RI itu menemukan DPR di era pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla banyak mengabaikan mandat rakyat daripada bekerja sesuai fungsinya.
Peneliti Senior Formappi Tommy Legowo menjelaskan DPR yang baru terbentuk pada Oktober 2014 sudah terbelah akibat pengkubuan politik menjadi dua koalisi pasca pilpres, yakni Kolisi Indonesia Hebat (KIH) dan Koalisi Merah Putih (KMP).
Selanjutnya, DPR yang didominasi KMP justru diboikot oleh KIH dengan pembentukan DPR Tandingan. Karena perpecahan ini lantas tidak ada peran dan fungsi DPR yang berjalan. Kalaupun pada akhirnya mereka bersatu setelah negosiasi politik namun hal ini terjadi di akhir masa sidang.
"Berarti tetap tidak menjalankan peran dan fungsi-fungsinya secara optimal," kata Tommy dalam konfrensi pers, di Kantor Formappi, Jl. Matraman Raya No 32B, Jakarta Timur, Jumat (19/12/2014).
Kinerja DPR periode saat ini, lanjut Tommy, lebih buruk dari DPR era Presiden ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Formappi mencatat di masa sidang pertama, parlemen kala itu sudah ada yang dikerjakan. Sementara DPR era Jokowi justru sama sekali tidak produktif.
"Dalam legislasi Desember 2009 anggota DPR sudah membuat Prolegnas 2009-2014 dan Prioritas Prolegnas untuk tahun berikutnya 2010. Sedangkan DPR sekarang pada masa sidang pertama belum menghasilkan Prolegnas dan belum menghasilkan Prioritas Prolegnas tahun 2015," papar Tommy.
Wajah DPR semakin buram. Hingga kini, masa reses DPR, suasana politik masih amburadul. Tapi harapan akan perbaikan kancah perpolitikan Indonesia sama sekali tak boleh padam.
Seperti beberapa ungkpan tokoh, politik itu cair, bisa berubah dalam hitungan detik. Maka yang bisa dilakukan hanyalah menunggu, kejutan apalagi yang akan terjadi dalam dunia politik Indonesia pada 2015?
medcom.id, Jakarta: 2014 menjadi tahun yang tak begitu bersinar bagi dunia perpolitikan Indonesia. Berbagai prahara, konflik, dan kejadian kurang baik menghiasi kancah perpolitikan negeri ini.
Awal 2014 sudah menjadi tahun sibuk di mana persiapan Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden gencar dilakukan. Proses menuju hari H pencoblosan pun berlangsung seru dan alot.
Saling menjatuhkan antarcaleg bukan hal asing yang terjadi. Persaingan tak hanya terjadi antarpartai, tapi juga secara internal partai. Pasalnya, sistem yang menuntut perolehan suara terbanyak membuat masing-masing kandidat berusaha merebut suara pemilih dengan cara apa pun.
PDI Perjuangan menjadi juara dalam pesta demokrasi lima tahunan itu. Partai pimpinan Megawati Soekarnoputri itu berhasil mengumpulkan 18,95 persen suara. Partai Golkar mengikuti dengan perolehan suara 14,75 persen. Gerindra di bawah pimpian Suhardi berhasil meraih angka 11,81 persen perolehan suara.
Partai Demokrat harus puas dengan perolehan suara 10,19 persen. PKB 9,04 persen, PAN 7,59 persen, PKS 6,79 persen, Partai NasDem 6,72 persen, PPP 6,53 persen dan hanura 5,26 persen.
Sementara PBB dan PKPI tak mampu memenuhi ambang batas suara untuk mengirimkan wakilnya ke Senayan. Masing-masing partai hanya mendapat suara 1,44 persen dan 0,91 persen.
Dengan komposisi suara seperti itu, masing-masing partai mulai mencari koalisinya. PDI Perjuangan berhasil merangkul Partai NasDem, PKB, Hanura dan PKPI. Setelah perdebatan dan beberapa konflik tercium, lima partai ini akhirnya mengusung Joko Widodo dan Jusuf Kalla sebagai jagoan dalam Pilpres 2014. Sementara Gerindra berhasil merangkul PKS, PPP, PAN, Golkar dan PBB untuk mengusung Prabowo Subianto-Hatta Rajasa sebagai rival Jokowi-JK.
Jokowi-JK keluar sebagai pemenang. Persoalan belum selesai. Perdebatan dan konflik panas kembali muncul. Saling tuduh dan aroma saling menjatuhkan pun kuat tercium.
Jokowi dalam Konser Salam Dua Jari.ANT/Dok
Sisa-sisa konflik ternyata masih membekas. Anggota DPR baru sudah dilantik, begitu juga Presiden. Oktober 2014 menjadi sejarah baru bagi Indonesia.
Namun, sejarah itu harus tercoreng setelah beberapa jam dilantik, drama di ruang paripurna dimulai. Aksi marah-marah, saling teriak, bahkan ada anggota yang berani naik ke mimbar pimpinan sidang menjadi tontonan memprihatinkan. Suasana kacau balau.
Beberapa hari setelahnya, perpecahan internal beberapa partai kembali meruncing. PPP menjadi salah satu partai terheboh yang mempertontonkan dualisme kepemimpinan. Muktamar terbelah. Ketua Umum dan kepengurusan menjadi dua.
Perpecahan ini pun mau tak mau memengaruhi kondisi politik baik bagi Koalisi Merah Putih (KMP) maupun Koalisi Indonesia Hebat (KIH). PPP menjadi rebutan.
Perdamaian KMP dan KIH.ANT/Izmar Patrizki
Tak mendapat jatah dalam paket Pimpinan DPR membuat PPP kecewa. Demokrat, sebagai partai yang dituding bermain dua kaki karena tak menyatakan diri bergabung di dua kubu justru mendapat keuntungan dengan diberi jatah satu kursi pimpinan.
PPP Kecewa. Dalam paket pimpinan MPR, PPP menyeberang dari KMP menuju KIH. Namun tetap, kehadiran PPP sama sekali tak membantu. KMP menang dan berhasil mendudukkan kadernya sebagai Pimpinan MPR.
Perebutan kursi pimpinan selesai, tapi tidak dengan konfliknya. DPR terbelah. Kekecewaan KIH ditunjukkan dengan membuat DPR tandingan. Kubu KIH bahkan membentuk alat kelengkapan dewan (AKD) sendiri, lengkap dengan seluruh pimpinannya.
DPR tak bisa bekerja dalam kondisi ini. Beberapa elite menyayangkan bahkan menuding drama ini merugikan. Wajar, karena lebih dari satu bulan DPR sibuk dengan persoalannya sendiri, lupa akan amanat rakyat.
Perpecahan sama sekali tak bisa didamaikan sampai terjadi kesepakatan antara dua kubu. Namun, kesepakatan tetap diikuti aksi walk out karena kecewa akan beberapa kebijakan. Salah satunya, perubahan UU MD3 yang berlarut-larut.
Namun, kedua kubu akhirnya menemukan titik sepakat hingga akhirnya AKD lengkap bisa terbentuk dan sidang di tiap-tiap komisi bisa dijalankan.
Sidang revisi UU MD3 di DPR.ANT/Izmar Patrizki
Apakah persoalan selesai? Tidak!
Partai Golkar tiba-tiba datang dengan konflik besar. Partai Golkar ikut terpecah. Dualisme kepemimpinan kembali terjadi. Ketua Umum menjadi dua, yakni Aburizal Bakrie dan Agung Laksono.
Perpecahan Golkar tentu memberi pengaruh pada konstelasi politik DPR. Keberpihakan pada KMP dan KIH makin nyata terlihat. Pecahnya suara Golkar tentu ikut menentukan nasib Perppu Pilkada yang digiat Ketua Umum Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono di akhir masa jabatannya sebagai presiden.
Konflik Golkar belum selesai hingga kini. Nasib Perppu Pilkada yang membuat heboh negeri ini juga belum jelas. Arah dunia perpolitikan Indonesia pun sama sekali belum teramalkan.
Buruknya citra DPR yang dipertontonkan hingga kini membuat berbagai reaksi keras bermunculan. Salah satunya dari pengamat politik Sebastian Salang. ia menilai sama sekali tak ada hal positif yang dilakukan DPR sepanjang 2014. Ini berdampak sangat buruk terhadap citra Parlemen.
"Hampir bisa kita pastikan bahwa tidak ada hal positif yang dilakukan DPR. Kepercayaan masyarakat ke DPR hancur di awal masa jabatannya," kata Koordinator Forum Masyarakat Perduli Parlemen Indonesia (Formappi) ini di Kedai Kopi Deli, Jalan Sunda, Menteng, Jakarta Pusat, Senin (22/12/2014).
Anggota DPR.MI/Mohamad Irfan
Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) pun merilis catatan akhir tahun 2014 terkait kompetisi, perubahan dan pembelahan politik. Catatan yang mengkhususkan pada kinerja DPR RI itu menemukan DPR di era pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla banyak mengabaikan mandat rakyat daripada bekerja sesuai fungsinya.
Peneliti Senior Formappi Tommy Legowo menjelaskan DPR yang baru terbentuk pada Oktober 2014 sudah terbelah akibat pengkubuan politik menjadi dua koalisi pasca pilpres, yakni Kolisi Indonesia Hebat (KIH) dan Koalisi Merah Putih (KMP).
Selanjutnya, DPR yang didominasi KMP justru diboikot oleh KIH dengan pembentukan DPR Tandingan. Karena perpecahan ini lantas tidak ada peran dan fungsi DPR yang berjalan. Kalaupun pada akhirnya mereka bersatu setelah negosiasi politik namun hal ini terjadi di akhir masa sidang.
"Berarti tetap tidak menjalankan peran dan fungsi-fungsinya secara optimal," kata Tommy dalam konfrensi pers, di Kantor Formappi, Jl. Matraman Raya No 32B, Jakarta Timur, Jumat (19/12/2014).
Kinerja DPR periode saat ini, lanjut Tommy, lebih buruk dari DPR era Presiden ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Formappi mencatat di masa sidang pertama, parlemen kala itu sudah ada yang dikerjakan. Sementara DPR era Jokowi justru sama sekali tidak produktif.
"Dalam legislasi Desember 2009 anggota DPR sudah membuat Prolegnas 2009-2014 dan Prioritas Prolegnas untuk tahun berikutnya 2010. Sedangkan DPR sekarang pada masa sidang pertama belum menghasilkan Prolegnas dan belum menghasilkan Prioritas Prolegnas tahun 2015," papar Tommy.
Wajah DPR semakin buram. Hingga kini, masa reses DPR, suasana politik masih amburadul. Tapi harapan akan perbaikan kancah perpolitikan Indonesia sama sekali tak boleh padam.
Seperti beberapa ungkpan tokoh, politik itu cair, bisa berubah dalam hitungan detik. Maka yang bisa dilakukan hanyalah menunggu, kejutan apalagi yang akan terjadi dalam dunia politik Indonesia pada 2015?
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(ICH)