Jakarta: Rancangan Undang-Undang (RUU) Ketahanan Keluarga dinilai melampaui beberapa kewenangan hukum. Salah satu yang ditabrak yakni soal perceraian.
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI) Sulistyowati Irianto menyebut ada beberapa kesepakatan dalam perceraian, seperti menafkahi istri yang tak menikah lagi dan anak. Namun, hal ini kerap dilanggar. Di sini, pengadilan berperan dalam melakukan upaya paksa.
"Nah, ini akan diambil alih oleh Badan Ketahanan Keluarga kalau RUU tersebut disahkan," ujar dia dalam diskusi publik di Jakarta, Rabu, 26 Februari 2020.
Tumpang tindih ini menyebabkan tak ada kepastian hukum. Selain itu, RUU mengatur ruangan antara orang tua dan anak. Jika tak bisa memenuhi, pemerintah membantu menyediakan fasilitas. Orang tua yang tak punya penghasilan juga akan dibantu pemerintah.
"Ini tidak sesuai dengan fakta, realitas, dan pengalaman wanita Indonesia," ungkap dia.
Sulis juga menyoroti definisi kerentanan dalam RUU tersebut. Contoh bentuk kerentanan dalam pasal tersebut adalah penyimpangan seksual, seperti orientasi seksual berbeda dan seks bebas.
"Kalau cara pikir begini, nanti urusan keluarga harus jadi urusan negara, padahal hal-hal ini sifatnya intim," kata dia.
Pasangan muda mengikuti resepsi pernikahan massal di Istora Senayan, Jakarta, Rabu, 28 Januari 2015. Foto: MI/Ramdani
Baca: RUU Ketahanan Keluarga Tak Relevan
RUU Ketahanan Keluarga masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2020. RUU tersebut diajukan lima anggota DPR, yaitu Ledia Hanifa dan Netty Prasetiyani dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Sodik Mudjahid dari Partai Gerindra, Ali Taher dari Partai Amanat Nasional (PAN), Endang Maria dari Partai (Golkar).
RUU ini dikritik berbagai pihak. Banyak pasal yang dianggap terlalu mencampuri privasi keluarga.
Jakarta: Rancangan Undang-Undang (RUU) Ketahanan Keluarga dinilai melampaui beberapa kewenangan hukum. Salah satu yang ditabrak yakni soal perceraian.
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI) Sulistyowati Irianto menyebut ada beberapa kesepakatan dalam perceraian, seperti menafkahi istri yang tak menikah lagi dan anak. Namun, hal ini kerap dilanggar. Di sini, pengadilan berperan dalam melakukan upaya paksa.
"Nah, ini akan diambil alih oleh Badan Ketahanan Keluarga kalau RUU tersebut disahkan," ujar dia dalam diskusi publik di Jakarta, Rabu, 26 Februari 2020.
Tumpang tindih ini menyebabkan tak ada kepastian hukum. Selain itu, RUU mengatur ruangan antara orang tua dan anak. Jika tak bisa memenuhi, pemerintah membantu menyediakan fasilitas. Orang tua yang tak punya penghasilan juga akan dibantu pemerintah.
"Ini tidak sesuai dengan fakta, realitas, dan pengalaman wanita Indonesia," ungkap dia.
Sulis juga menyoroti definisi kerentanan dalam RUU tersebut. Contoh bentuk kerentanan dalam pasal tersebut adalah penyimpangan seksual, seperti orientasi seksual berbeda dan seks bebas.
"Kalau cara pikir begini, nanti urusan keluarga harus jadi urusan negara, padahal hal-hal ini sifatnya intim," kata dia.
Pasangan muda mengikuti resepsi pernikahan massal di Istora Senayan, Jakarta, Rabu, 28 Januari 2015. Foto: MI/Ramdani
Baca:
RUU Ketahanan Keluarga Tak Relevan
RUU Ketahanan Keluarga masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2020. RUU tersebut diajukan lima anggota DPR, yaitu Ledia Hanifa dan Netty Prasetiyani dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Sodik Mudjahid dari Partai Gerindra, Ali Taher dari Partai Amanat Nasional (PAN), Endang Maria dari Partai (Golkar).
RUU ini dikritik berbagai pihak. Banyak pasal yang dianggap terlalu mencampuri privasi keluarga.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(OGI)