Jakarta: Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini merekomendasikan penghapusan ambang batas pencalonan presiden. Penghapusan ambang batas pencalonan presiden diperlukan agar mencegah terjadinya pemusatan kekuasaan atau kesewenang-wenangan kekuatan mayoritas.
Daripada terus menaikkan ambang batas parlemen yang berdampak pada disproporsionalitas, kata Titi, pemerintah lebih baik memberlakukan ambang batas pembentukan fraksi.
"Presiden memang harus didukung oleh kekuatan yang memadai di parlemen melalui pengurangan fragmentasi politik di DPR. Namun, bukan berarti menegaskan kekuatan kontrol dari partai-partai yang ada di parlemen makin mempersulit partai untuk masuk parlemen," ujar Titi saat menjadi pembicara dalam seminar Muktamar Muhammadiyah ke-48: 'Rekonstruksi Sistem Ketatanegaraan Indonesia’, Rabu, 16 Maret 2022.
Baca: Perludem: Presidential Threshold Problematik secara Konstitusional
Menurut Titi, kekuasaan presiden harus tetap diimbangi dengan adanya fungsi kontrol. Ini penting untuk menghindari tendensi pemusatan kekuasaan.
DPD harus senantiasa berperan sebagai kekuatan penyeimbang. Penguatan kultur kewargaan bahkan diperlukan sebagai control public pada kekuasaan.
"Serta menjadi jembatan menyampaikan aspirasi masyarakat seperti melawan penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan," kata dia.
Jakarta: Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini merekomendasikan penghapusan
ambang batas pencalonan presiden. Penghapusan ambang batas
pencalonan presiden diperlukan agar mencegah terjadinya pemusatan kekuasaan atau kesewenang-wenangan kekuatan mayoritas.
Daripada terus menaikkan ambang batas parlemen yang berdampak pada disproporsionalitas, kata Titi, pemerintah lebih baik memberlakukan ambang batas pembentukan fraksi.
"Presiden memang harus didukung oleh kekuatan yang memadai di parlemen melalui pengurangan fragmentasi politik di
DPR. Namun, bukan berarti menegaskan kekuatan kontrol dari partai-partai yang ada di parlemen makin mempersulit partai untuk masuk parlemen," ujar Titi saat menjadi pembicara dalam seminar Muktamar Muhammadiyah ke-48: 'Rekonstruksi Sistem Ketatanegaraan Indonesia’, Rabu, 16 Maret 2022.
Baca:
Perludem: Presidential Threshold Problematik secara Konstitusional
Menurut Titi, kekuasaan presiden harus tetap diimbangi dengan adanya fungsi kontrol. Ini penting untuk menghindari tendensi pemusatan kekuasaan.
DPD harus senantiasa berperan sebagai kekuatan penyeimbang. Penguatan kultur kewargaan bahkan diperlukan sebagai control public pada kekuasaan.
"Serta menjadi jembatan menyampaikan aspirasi masyarakat seperti melawan penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan," kata dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(JMS)