medcom.id, Jakarta: Komisi Pemilihan Umum (KPU) tengah membahas hasil revisi Undang-undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Kepala Daerah yang disahkan oleh DPR pekan lalu. Salah satu yang dibahas adalah Pasal 9a tentang tugas dan wewenang KPU dalam menyusun dan menetapkan peraturan KPU serta pedoman teknis pemilihan setelah berkonsultasi dengan DPR dan pemerintah dalam Rapat Dengar Pendapat yang keputusannya mengikat.
Komisioner KPU Hadar Nafis Gumay mengatakan, pihaknya menyadari bahwa pengaturan baru hasil konsultasi yang bersifat mengikat dapat merusak kemandirian KPU dalam mengambil keputusan. Maka itu, pihaknya sedang mempertimbangkan untuk mengajukan uji materi atau judicial review ke Mahkamah Konstitusi.
"Kami sedang membahasnya," kata Hadar kepada Metrotvnews.com, Senin (6/6/2016).
Menurut Hadar, pembahasan keseluruhan Undang-undang Pilkada mutlak dilakukan. Sebab, akan berhubungan dengan draf Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) yang sudah dipersiapkan. Kemudian draf PKPU itu akan diuji publik dan dikonsultasikan ke DPR.
"Kami akan mengonsultasikan karena undang-undang mengharuskan itu, baik undang-undang lama yang masih berlaku maupun undang-undang perubahan yang baru namun belum diundangkan," ujar Hadar.
Terkait adanya desakan dari masyarakat sipil agar KPU melakukan judicial review lantaran Pasal 9a dianggap merusak kemandiriaan KPU, Hadar menjawab diplomatis. "KPU tidak perlu didesak-desak. Semua pihak bisa memberikan masukan. Kami senang mendapat masukan. Namun, dalam mengambil keputusan tentu kami haruslah mandiri," imbuh Hadar.
Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) Masykurudin Hafidz menilai, dalam Undang-undang Pilkada yang disahkan terdapat 'pasal siluman'. Salah satunya adalah Pasal 9a yang memuat aturan agar bagi penyelenggara pemilu membuat aturan harus melalui konsultasi dengan DPR dan pemerintah.
"Itu tidak datang dari penyelenggara Pemilu atau masyarakat sipil. Itu murni dari diskusi di Komisi II DPR. Selain itu banyak pasal baru yang tidak didasarkan dari Pilkada 2015," kata Masykurudin.
Masykurudin mengatakan, dengan adanya pasal siluman itu, maka DPR inkonstitusional dengan melanggar UUD 1945. Dalam Pasal 22E ayat 5 disebutkan, Pemilihan Umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri.
"Jadi, kalau ada klausul yang mewajibkan dikonsultasikan ke DPR dan keputusan mengikat itu jelas mengurangi aspek kemandirian KPU," terang masykurudin.
Maka itu, dia mengimbau kepada KPU segera melakukan judicial review ke Mahkamah konstitusi atas pasal tersebut agar integritas dan kemandiriaan KPU tidak ternganggu. "Kita mendorong agar KPU melakukan judicial review," jelas dia.
Sementara itu Ketua Komisi II Rambe kamarul Zaman mempersilakan jika KPU berencana mengajukan judicial review terhadap UU Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Kepala Daerah khususnya Pasal 9a yang dianggap memperlemah KPU.
"Silakan saja. Kalau KPU sebagai penyelenggara pemilu, maka apa yang diselenggarakannya seharusnya sesuai dengan UU yang mengatur," kata Rambe.
Menurut Rambe, KPU diberi wewenang untuk membuat peraturan yang berfungsi menjabarkan maksud dalam UU Pilkada. Maka itu, proses pembuatan PKPU harus dikonsultasikan dengan DPR agar tidak bertentangan dengan UU Pilkada.
"Nah, konsultasi ini tidak ada di dalam (klausul) UU MD3. Makanya dilaksanakan RDP yang hasil rekomendasinya bersifat mengikat," kata dia.
medcom.id, Jakarta: Komisi Pemilihan Umum (KPU) tengah membahas hasil revisi Undang-undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Kepala Daerah yang disahkan oleh DPR pekan lalu. Salah satu yang dibahas adalah Pasal 9a tentang tugas dan wewenang KPU dalam menyusun dan menetapkan peraturan KPU serta pedoman teknis pemilihan setelah berkonsultasi dengan DPR dan pemerintah dalam Rapat Dengar Pendapat yang keputusannya mengikat.
Komisioner KPU Hadar Nafis Gumay mengatakan, pihaknya menyadari bahwa pengaturan baru hasil konsultasi yang bersifat mengikat dapat merusak kemandirian KPU dalam mengambil keputusan. Maka itu, pihaknya sedang mempertimbangkan untuk mengajukan uji materi atau judicial review ke Mahkamah Konstitusi.
"Kami sedang membahasnya," kata Hadar kepada
Metrotvnews.com, Senin (6/6/2016).
Menurut Hadar, pembahasan keseluruhan Undang-undang Pilkada mutlak dilakukan. Sebab, akan berhubungan dengan draf Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) yang sudah dipersiapkan. Kemudian draf PKPU itu akan diuji publik dan dikonsultasikan ke DPR.
"Kami akan mengonsultasikan karena undang-undang mengharuskan itu, baik undang-undang lama yang masih berlaku maupun undang-undang perubahan yang baru namun belum diundangkan," ujar Hadar.
Terkait adanya desakan dari masyarakat sipil agar KPU melakukan judicial review lantaran Pasal 9a dianggap merusak kemandiriaan KPU, Hadar menjawab diplomatis. "KPU tidak perlu didesak-desak. Semua pihak bisa memberikan masukan. Kami senang mendapat masukan. Namun, dalam mengambil keputusan tentu kami haruslah mandiri," imbuh Hadar.
Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) Masykurudin Hafidz menilai, dalam Undang-undang Pilkada yang disahkan terdapat 'pasal siluman'. Salah satunya adalah Pasal 9a yang memuat aturan agar bagi penyelenggara pemilu membuat aturan harus melalui konsultasi dengan DPR dan pemerintah.
"Itu tidak datang dari penyelenggara Pemilu atau masyarakat sipil. Itu murni dari diskusi di Komisi II DPR. Selain itu banyak pasal baru yang tidak didasarkan dari Pilkada 2015," kata Masykurudin.
Masykurudin mengatakan, dengan adanya pasal siluman itu, maka DPR inkonstitusional dengan melanggar UUD 1945. Dalam Pasal 22E ayat 5 disebutkan,
Pemilihan Umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri.
"Jadi, kalau ada klausul yang mewajibkan dikonsultasikan ke DPR dan keputusan mengikat itu jelas mengurangi aspek kemandirian KPU," terang masykurudin.
Maka itu, dia mengimbau kepada KPU segera melakukan judicial review ke Mahkamah konstitusi atas pasal tersebut agar integritas dan kemandiriaan KPU tidak ternganggu. "Kita mendorong agar KPU melakukan judicial review," jelas dia.
Sementara itu Ketua Komisi II Rambe kamarul Zaman mempersilakan jika KPU berencana mengajukan judicial review terhadap UU Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Kepala Daerah khususnya Pasal 9a yang dianggap memperlemah KPU.
"Silakan saja. Kalau KPU sebagai penyelenggara pemilu, maka apa yang diselenggarakannya seharusnya sesuai dengan UU yang mengatur," kata Rambe.
Menurut Rambe, KPU diberi wewenang untuk membuat peraturan yang berfungsi menjabarkan maksud dalam UU Pilkada. Maka itu, proses pembuatan PKPU harus dikonsultasikan dengan DPR agar tidak bertentangan dengan UU Pilkada.
"Nah, konsultasi ini tidak ada di dalam (klausul) UU MD3. Makanya dilaksanakan RDP yang hasil rekomendasinya bersifat mengikat," kata dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(ALB)