Jakarta: Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) mencatat kondisi penghormatan terhadap hak asasi manusia (HAM) semakin buruk. Kondisi ini menyebabkan lemahnya atau turunnya indeks demokrasi Indonesia yang berpotensi mengarahkan kembali ke zaman otoritarianisme, bahkan totaliarisme.
Koordinator KontraS Dimas Bagus Arya Saputra mengatakan prilaku laten mengangkat isu HAM menjadi isu lima tahunan merupakan pembodohan. Sejatinya kasus pelanggaran HAM adalah isu yang selalu dibunyikan orang-orang atau komunitas yang melakukan advokasi.
"Pasti ada upaya untuk menekan, menyelesaikan pelanggaran HAM berat masa lalu. Konsistensi dari keluarga korban, banyak sekali kasus kelompok korban yang melakukan aktivasi kasus Talangsari, Trisakti, kasus di Papua dan Aceh, dan kasus kejahatan orba yang selalu menyuarakan aspirasi dan suaranya kenapa negara tidak kunjung menyelesaikannya. Padahal Indomesia sudah cukup mumpuni melakukan penyelesaian," ujar Dimas, Jakarta, Kamis, 28 Desember 2023.
Upaya mendorong penyelesaiaan kasus HAM menjadi salah satu yang dilakukan secara konsisten dalam waktu 16 tahun terakhir lewat aksi kamisan. Menurut dia, banyak publik mempertanyakan upaya penyelesaian kasus HAM berat yang sulit dilakukan pemerintah. Padahal, pada era Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) telah membentuk dua pengadilan kasus HAM Timur Leste dan Tanjung Priok.
"Ini adalah bukti penyelesaian kasus HAM ini mudah kalau ada kemauan politik dari Kepala Negara. Dan hari ini ada ambiguitas atau ketidakcocokan perkataan dan perbuatan oleh Presiden Joko Widodo," ketus dia.
Kondisi tersebut dinilai ironi karena pada masa kekuasaan awal Jokowi pada 2014, isu penyelesaian kasus HAM masuk dalam dokumen politik prioritas Nawacita secara berkeadilan dan bermartabat. Artinya, penyelesaian kasus HAM harus menjadi prioritas politik dari Kepala Negara untuk diimplementasikan.
"Tapi dalam sembilan tahun terakhir, Jokowi hanya berhasil membuat satu pengadilan HAM, itu pun kasus yang terjadi bukan di era orba, yakni kasus yang terjadi di Paniai, di Papua 2014. Dari situ kita melihat ada ketidaksungguhan dari Presiden untuk melakukan penyelesaian yang berkeadilan," kata dia.
Alih-alih menyelesaikan berbagai kasus HAM berat dalam dua periode kekuasaannya, pada 2022-2023 Jokowi justru melahirkan upaya penyelesaian yang tidak berkeadilan dengan mengeluarkan kebijakan penyelesaian lewat jalur non-yudisial.
"Yang kami lihat ini merupakan satu lompatan drastis tidak berkeadikan kasus HAM, yang hanya menawarkan dua argumentasi. Pertama kompensasi dan penyelesaian secara kilat. Lalu di mana diksi berkeadilan dan bermartabat yang dijanjikan oleh Presiden dan itu dituliskan dalam dokumen kontrak politik Nawacita yang seringkali dibanggakan oleh rezim Jokowi," papar dia.
Jakarta: Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) mencatat kondisi penghormatan terhadap hak asasi manusia (
HAM) semakin buruk. Kondisi ini menyebabkan lemahnya atau turunnya indeks demokrasi Indonesia yang berpotensi mengarahkan kembali ke zaman otoritarianisme, bahkan totaliarisme.
Koordinator KontraS Dimas Bagus Arya Saputra mengatakan prilaku laten mengangkat isu HAM menjadi isu lima tahunan merupakan pembodohan. Sejatinya kasus pelanggaran HAM adalah isu yang selalu dibunyikan orang-orang atau komunitas yang melakukan advokasi.
"Pasti ada upaya untuk menekan, menyelesaikan
pelanggaran HAM berat masa lalu. Konsistensi dari keluarga korban, banyak sekali kasus kelompok korban yang melakukan aktivasi kasus Talangsari, Trisakti, kasus di Papua dan Aceh, dan kasus kejahatan orba yang selalu menyuarakan aspirasi dan suaranya kenapa negara tidak kunjung menyelesaikannya. Padahal Indomesia sudah cukup mumpuni melakukan penyelesaian," ujar Dimas, Jakarta, Kamis, 28 Desember 2023.
Upaya mendorong penyelesaiaan kasus HAM menjadi salah satu yang dilakukan secara konsisten dalam waktu 16 tahun terakhir lewat aksi kamisan. Menurut dia, banyak publik mempertanyakan upaya penyelesaian kasus HAM berat yang sulit dilakukan pemerintah. Padahal, pada era Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) telah membentuk dua pengadilan kasus HAM Timur Leste dan Tanjung Priok.
"Ini adalah bukti penyelesaian kasus HAM ini mudah kalau ada kemauan politik dari Kepala Negara. Dan hari ini ada ambiguitas atau ketidakcocokan perkataan dan perbuatan oleh Presiden Joko Widodo," ketus dia.
Kondisi tersebut dinilai ironi karena pada masa kekuasaan awal
Jokowi pada 2014, isu penyelesaian kasus HAM masuk dalam dokumen politik prioritas Nawacita secara berkeadilan dan bermartabat. Artinya, penyelesaian kasus HAM harus menjadi prioritas politik dari Kepala Negara untuk diimplementasikan.
"Tapi dalam sembilan tahun terakhir, Jokowi hanya berhasil membuat satu pengadilan HAM, itu pun kasus yang terjadi bukan di era orba, yakni kasus yang terjadi di Paniai, di Papua 2014. Dari situ kita melihat ada ketidaksungguhan dari Presiden untuk melakukan penyelesaian yang berkeadilan," kata dia.
Alih-alih menyelesaikan berbagai kasus HAM berat dalam dua periode kekuasaannya, pada 2022-2023 Jokowi justru melahirkan upaya penyelesaian yang tidak berkeadilan dengan mengeluarkan kebijakan penyelesaian lewat jalur non-yudisial.
"Yang kami lihat ini merupakan satu lompatan drastis tidak berkeadikan kasus HAM, yang hanya menawarkan dua argumentasi. Pertama kompensasi dan penyelesaian secara kilat. Lalu di mana diksi berkeadilan dan bermartabat yang dijanjikan oleh Presiden dan itu dituliskan dalam dokumen kontrak politik Nawacita yang seringkali dibanggakan oleh rezim Jokowi," papar dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(AZF)