Jakarta: Pengamat politik, Fernando Emas, menuturkan bahwa sistem proporsional tertutup akan menjadi bukti kegagalan partai politik (parpol) dalam menjalankan fungsinya. Ia berharap Mahkamah Konstitusi (MK) akan menolak judicial review mengenai pengaturan sistem pemilihan legislatif yang terdapat dalam UU Pemilu.
"Sistem proporsional terbuka yang diatur dalam UU Pemilu sudah sangat tepat untuk tetap dilakukan pada pemilu yang akan datang," ujarnya, dalam keterangan tertulisnya, Senin, 2 Januari 2023.
Fernando mengungkapkan, jangan sampai terjadi kemunduran dalam sistem pemilu legislatif. Padahal sebelumnya sistem proporsional tertutup sudah pernah dijalankan.
Menurutnya, pemilih lebih mengenal calon legislatifnya kalau dilakukan dengan sistem proporsional terbuka karena masing-masing caleg akan berkompetisi secara terbuka dan berusaha untuk mendapatkan hati para pemilih.
Maka, kata Fernando, tidak ada alasan bagi partai mendorong sistem proporsional tertutup karena ingin penguatan partai dan menentukan kadernya yang mewakili di legislatif.
Pada sistem proporsional terbuka, partai juga diberikan penuh sejak melakukan perekrutan dan mengusulkan calon legislatif.
"Berarti partai gagal melakukan perekrutan dan pengkaderan sehingga asal merekrut caleg untuk sekedar dicalonkan tanpa ada keinginan untuk diberikan kesempatan mewakili di legislatif," tegasnya.
Seharusnya, Fernando menyebut semua caleg yang diusulkan oleh partai adalah semuanya memang dipersiapkan untuk menjadi wakilnya di legislatif.
Fernando berharap jangan sampai sistem proporsional tertutup akan menjadi lahan bagi partai politik untuk melakukan transisional terhadap caleg yang akan ditunjuk mewakili di legislatif.
Ia pun mengakui bahwa sistem proporsional terbuka semakin membuat pemilih kita menjadi transaksional ketika akan menentukan pilihannya.
"Justru menjadi tugas partai politik memberikan pendidikan politik dan para anggota DPR RI membuat UU yang mengatur sistem kampanye yang memperkecil peluang transaksional dengan pemilihnya," ungkapnya.
Jakarta: Pengamat politik, Fernando Emas, menuturkan bahwa sistem proporsional tertutup akan menjadi bukti kegagalan
partai politik (parpol) dalam menjalankan fungsinya. Ia berharap Mahkamah Konstitusi (MK) akan menolak
judicial review mengenai pengaturan sistem pemilihan legislatif yang terdapat dalam
UU Pemilu.
"Sistem proporsional terbuka yang diatur dalam UU Pemilu sudah sangat tepat untuk tetap dilakukan pada pemilu yang akan datang," ujarnya, dalam keterangan tertulisnya, Senin, 2 Januari 2023.
Fernando mengungkapkan, jangan sampai terjadi kemunduran dalam
sistem pemilu legislatif. Padahal sebelumnya sistem proporsional tertutup sudah pernah dijalankan.
Menurutnya, pemilih lebih mengenal calon legislatifnya kalau dilakukan dengan sistem proporsional terbuka karena masing-masing caleg akan berkompetisi secara terbuka dan berusaha untuk mendapatkan hati para pemilih.
Maka, kata Fernando, tidak ada alasan bagi partai mendorong sistem proporsional tertutup karena ingin penguatan partai dan menentukan kadernya yang mewakili di legislatif.
Pada sistem proporsional terbuka, partai juga diberikan penuh sejak melakukan perekrutan dan mengusulkan calon legislatif.
"Berarti partai gagal melakukan perekrutan dan pengkaderan sehingga asal merekrut caleg untuk sekedar dicalonkan tanpa ada keinginan untuk diberikan kesempatan mewakili di legislatif," tegasnya.
Seharusnya, Fernando menyebut semua caleg yang diusulkan oleh partai adalah semuanya memang dipersiapkan untuk menjadi wakilnya di legislatif.
Fernando berharap jangan sampai sistem proporsional tertutup akan menjadi lahan bagi partai politik untuk melakukan transisional terhadap caleg yang akan ditunjuk mewakili di legislatif.
Ia pun mengakui bahwa sistem proporsional terbuka semakin membuat pemilih kita menjadi transaksional ketika akan menentukan pilihannya.
"Justru menjadi tugas partai politik memberikan pendidikan politik dan para anggota DPR RI membuat UU yang mengatur sistem kampanye yang memperkecil peluang transaksional dengan pemilihnya," ungkapnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(END)