medcom.id, Jakarta: Wakil Ketua DPR Fadli Zon mendukung simposium yang digelar sejumlah Purnawirawan TNI. Menurut dia, simposium tersebut penting untuk menjadikan perbandingan terhadap simposium yang sebelumnya telah digelar dengan judul 'Membedah Tragedi 1965, Pendekatan Kesejarahan'.
"Menurut saya perlu (simposium yang digelar purnawirawan TNI), karena ini perlu pembanding memang, bukan tandingan," kata Fadli di Kompleks Parlemen, Senayan, Jalan Jenderal Gatot Subroto, Jakarta Pusat, Rabu (1/6/2016).
Politikus Partai Gerindra ini menilai, simposium digelar karena ada kekecewaan terhadap Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas). Purnawirawan yang menginisiasi simposium ini menilai Lemhannas tak seimbang karena tak menghadirkan korban Partai Komunis Indonesia (PKI) pada simposium sebelumnya.
"Saya juga heran Lemhannas tidak setajam dulu lagi. Kalau Lemhannas paham sejarah, harusnya yang dihadirkan bukan sejarawan, melainkan orang-orang yang terlibat dalam urusan politik ketika itu," ujar dia.
"Korbannya pun tidak seimbang, tidak dibawa korban-korban dari kekejaman PKI sendiri. Jadi memang harus ada semacam simposium lain, semakin banyak simposium ya tidak ada masalah, semakin bagus. Saya sangat mendukung itu," sambung dia.
Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) Yasonna Laoly, Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Luhut Binsar Panjaitan, Jaksa Agung M Prasetyo. MI/Galih Pradipta.
Politikus Gerindra ini juga menyebut simposium bukan untuk menciptakan kekisruhan. Pasalnya, kekisruhan sedari awal sudah muncul karena ulah pemerintah yang mengungkit kembali masalah PKI.
"Rekonsiliasi di tingkat masyarakat sudah selesai. Tidak perlu lagi rekonsialiasi yang mengangkat-angkat siapa yang menjadi korban, siapa yang menjadi pelaku. Karena saat itu kan situasinya adalah chaos, kadang-kadang ada situasi antara membunuh dan dibunuh. Itu yang diceritakan, saya belum lahir. Jadi untuk apa? Toh tidak ada lagi diskriminasi terhadap mereka. Tidak ada lagi kematian perdata atau apa," tutur dia.
Wakil Kepala Staf Angkatan Darat Letjen Kiki Syahnakri mengungkapkan rencana melakukan simposium penangkalan terhadap komunisme muncul sejak pertengahan Mei. Simposium yang diadakan purnawirawan TNI ini merupakan bentuk kekecewaan dari simposium sebelumnya yang dianggap sepihak.
"Begini kita ini sangat mengkhawatirkan adanya simposium sepihak kemarin. Kita minta ditunda supaya dua pihak. Tapi mereka mengatakan tidak bisa," kata Kiki pada 13 Mei 2016.
Acara diselenggarakan pada 1-2 Juni 2016 di Balai Kartini. Purnawirawan berharap, simposium ini mendapatkan dukungan dari Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Luhut Binsar Panjaitan. Luhut diketahui mendukung pelaksanaan simposium yang diadakan Lemhannas beberapa waktu lalu.
Acara tersebut telah mendapat dukungan penuh dari Gerakan Bela Negara, Ormas berlandaskan Pancasila, dan Ormas Islam. Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu dijadwalkan hadir pada pembukaan hari pertama simposium.
medcom.id, Jakarta: Wakil Ketua DPR Fadli Zon mendukung simposium yang digelar sejumlah Purnawirawan TNI. Menurut dia, simposium tersebut penting untuk menjadikan perbandingan terhadap simposium yang sebelumnya telah digelar dengan judul 'Membedah Tragedi 1965, Pendekatan Kesejarahan'.
"Menurut saya perlu (simposium yang digelar purnawirawan TNI), karena ini perlu pembanding memang, bukan tandingan," kata Fadli di Kompleks Parlemen, Senayan, Jalan Jenderal Gatot Subroto, Jakarta Pusat, Rabu (1/6/2016).
Politikus Partai Gerindra ini menilai, simposium digelar karena ada kekecewaan terhadap Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas). Purnawirawan yang menginisiasi simposium ini menilai Lemhannas tak seimbang karena tak menghadirkan korban Partai Komunis Indonesia (PKI) pada simposium sebelumnya.
"Saya juga heran Lemhannas tidak setajam dulu lagi. Kalau Lemhannas paham sejarah, harusnya yang dihadirkan bukan sejarawan, melainkan orang-orang yang terlibat dalam urusan politik ketika itu," ujar dia.
"Korbannya pun tidak seimbang, tidak dibawa korban-korban dari kekejaman PKI sendiri. Jadi memang harus ada semacam simposium lain, semakin banyak simposium ya tidak ada masalah, semakin bagus. Saya sangat mendukung itu," sambung dia.
Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) Yasonna Laoly, Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Luhut Binsar Panjaitan, Jaksa Agung M Prasetyo. MI/Galih Pradipta.
Politikus Gerindra ini juga menyebut simposium bukan untuk menciptakan kekisruhan. Pasalnya, kekisruhan sedari awal sudah muncul karena ulah pemerintah yang mengungkit kembali masalah PKI.
"Rekonsiliasi di tingkat masyarakat sudah selesai. Tidak perlu lagi rekonsialiasi yang mengangkat-angkat siapa yang menjadi korban, siapa yang menjadi pelaku. Karena saat itu kan situasinya adalah chaos, kadang-kadang ada situasi antara membunuh dan dibunuh. Itu yang diceritakan, saya belum lahir. Jadi untuk apa? Toh tidak ada lagi diskriminasi terhadap mereka. Tidak ada lagi kematian perdata atau apa," tutur dia.
Wakil Kepala Staf Angkatan Darat Letjen Kiki Syahnakri mengungkapkan rencana melakukan simposium penangkalan terhadap komunisme muncul sejak pertengahan Mei. Simposium yang diadakan purnawirawan TNI ini merupakan bentuk kekecewaan dari simposium sebelumnya yang dianggap sepihak.
"Begini kita ini sangat mengkhawatirkan adanya simposium sepihak kemarin. Kita minta ditunda supaya dua pihak. Tapi mereka mengatakan tidak bisa," kata Kiki pada 13 Mei 2016.
Acara diselenggarakan pada 1-2 Juni 2016 di Balai Kartini. Purnawirawan berharap, simposium ini mendapatkan dukungan dari Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Luhut Binsar Panjaitan. Luhut diketahui mendukung pelaksanaan simposium yang diadakan Lemhannas beberapa waktu lalu.
Acara tersebut telah mendapat dukungan penuh dari Gerakan Bela Negara, Ormas berlandaskan Pancasila, dan Ormas Islam. Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu dijadwalkan hadir pada pembukaan hari pertama simposium.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(DRI)