Jakarta: Korupsi dinilai bakal menjamur bila pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak digelar pada 2024. Pasalnya, banyak kursi kepala daerah bakal diisi penjabat atau pelaksana tugas (plt).
"Saat mereka (plt kepala daerah) berkonsultasi dengan DPRD maka potensi korupsi jadi sangat besar, penyimpangan, malaadministrasi," kata pengamat kebijakan publik Universitas Trisakti, Trubus Rahardiansyah, kepada Medcom.id, Jumat, 5 Februari 2021.
Menurut dia, potensi penyimpangan terjadi karena kewenangan plt kepala daerah cukup terbatas. Mereka dinilai hanya mengawasi implementasi kebijakan pembangunan.
Baca: DPRA: Pilkada Aceh Tetap Akan Digelar 2022
"Istilahnya hanya melihat doang, dia tidak bisa berbuat banyak," ungkap dia.
Hal ini membuat eksekusi di lapangan menjadi tidak terkontrol. Posisi plt kepala daerah hanya dianggap sebagai pelengkap dan tidak memiliki kekuatan seperti kepala daerah terpilih.
"Hanya sekadar ini saja, sekadar melaksanakan aturan saja. Hormatnya hanya sekadar hormat, hanya basa-basi," sebut dia.
Selain itu, penugasan plt kepala daerah ini dinilai berdampak pada penanganan covid-19. Kebijakan yang dibuat diperkirakan tidak berjalan efektif.
"Karena pemerintah pusat tidak bisa melakukan garis komando memerintahkan kepada daerah karena diganjal oleh situasi plt," ujar dia.
Pilkada 2022 dan 2023 ditiadakan. Undang-Undang (UU) Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada mengamanatkan kontestasi kepala daerah selanjutnya dilakukan pada 2024. Hal ini membuat ratusan jabatan kepala daerah diisi pelaksana tuhas.
Sebanyak tujuh gubernur dan wakil gubernur serta 94 kepala daerah tingkat kabupaten/kota habis masa jabatannya pada 2022. Pada 2023, 17 gubernur dan wakil gubernur serta 154 kepala daerah tingkat kabupaten/kota harus melepas jabatannya.
Jakarta: Korupsi dinilai bakal menjamur bila pemilihan kepala daerah (
pilkada) serentak digelar pada 2024. Pasalnya, banyak kursi kepala daerah bakal diisi penjabat atau pelaksana tugas (plt).
"Saat mereka (plt kepala daerah) berkonsultasi dengan DPRD maka potensi korupsi jadi sangat besar, penyimpangan, malaadministrasi," kata pengamat kebijakan publik Universitas Trisakti, Trubus Rahardiansyah, kepada
Medcom.id, Jumat, 5 Februari 2021.
Menurut dia, potensi penyimpangan terjadi karena kewenangan plt kepala daerah cukup terbatas. Mereka dinilai hanya mengawasi implementasi kebijakan pembangunan.
Baca:
DPRA: Pilkada Aceh Tetap Akan Digelar 2022
"Istilahnya hanya melihat doang, dia tidak bisa berbuat banyak," ungkap dia.
Hal ini membuat eksekusi di lapangan menjadi tidak terkontrol. Posisi plt kepala daerah hanya dianggap sebagai pelengkap dan tidak memiliki kekuatan seperti kepala daerah terpilih.
"Hanya sekadar ini saja, sekadar melaksanakan aturan saja. Hormatnya hanya sekadar hormat, hanya basa-basi," sebut dia.
Selain itu, penugasan plt kepala daerah ini dinilai berdampak pada penanganan covid-19. Kebijakan yang dibuat diperkirakan tidak berjalan efektif.
"Karena pemerintah pusat tidak bisa melakukan garis komando memerintahkan kepada daerah karena diganjal oleh situasi plt," ujar dia.
Pilkada 2022 dan 2023 ditiadakan. Undang-Undang (
UU) Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada mengamanatkan kontestasi kepala daerah selanjutnya dilakukan pada 2024. Hal ini membuat ratusan jabatan kepala daerah diisi pelaksana tuhas.
Sebanyak tujuh gubernur dan wakil gubernur serta 94 kepala daerah tingkat kabupaten/kota habis masa jabatannya pada 2022. Pada 2023, 17 gubernur dan wakil gubernur serta 154 kepala daerah tingkat kabupaten/kota harus melepas jabatannya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(OGI)