medcom.id, Jakarta: Dukungan moral diberikan mantan Kader Partai Demokrat I Gede Pasek Suardika kepada Wakil Bendahara Umum Partai Demokrat I Putu Sudiartana. Pasek berharap Sudiartana tabah menghadapi cobaan yang dihadapi saat ini.
"Saya sedih juga mendengar pernyataan pimpinan DPP PD yang seakan lepas tangan dan tidak tahu-menahu, bahkan katanya langsung memecat. Saya sih berharap Putu bisa buka saja apa yang terjadi, kalau DPP sekarang tidak memperdulikan sementara tugasnya dibebankan ke dirinya," kata Pasek, Kamis (30/6/2016).
Pasek menduga korupsi yang melibatkan Sudiartana ada kaitannya dengan jabatan Wakil Bendahara Umum Partai Demokrat yang melekat pada diri anggota Komisi III DPR itu. Dugaan itu muncul, kata Pasek, karena dalam kasus ini ada beberapa keganjilan.
Sudiartana, jelas Pasek, adalah anggota Komisi III DPR Fraksi Demokrat dari daerah pemilihan Bali. Sementara kasus yang disangkakan adalah 12 proyek jalan raya. Proyek itu jelas bukan ranah Komisi III, apalagi lokasi proyek di Sumatera Barat.
"Saya takutnya karena proyek yang digarap itu enggak terkait dengan Komisi III yang dibidanginya, maka itu bisa saja karena posisi di Banggar dan Wabendum yang disandangnya," kata Pasek.
Loyalis mantan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum ini mengatakan, pengangkatan Sudiartana sebagai salah satu penanggung jawab keuangan partai juga janggal. Pengangkatan Sudiartana itu dianggap instan karena tidak melalui jalur karir dari bawah.
"Saya saja memulai karir dulu di PD sejak 2004 menjadi Wakil Ketua Tim Kampanye SBY-JK di Bali. Lalu Ketua Dewan Pakar DPD PD Bali dan setelah itu baru menjadi Ketua Departemen Pemuda dan Olahraga serta terakhir sebagai Ketua Divisi Komunikasi Publik. Sangat berjenjang dan tidak begitu saja," ucap dia.
Karena itu, Pasek menegaskan, harus ada kecurigaan Sudiartana mudah mendapatkan tempat spesial. Tidak hanya di partai, Putu Sudiartana bahkan menjadi salah satu anggota di Badan Anggaran.
KPK menangkap Sudiartana pada Selasa malam, 28 Juni, di rumah dinasnya di Kawasan Ulujami, Jakarta Selatan. Selain Sudiartana, KPK menangkap lima orang lainnya di Petamburan, Jakarta, Padang, Sumatera Barat dan Tebing Tinggi, Sumatera Utara.
Penyerahan uang suap dari pengusaha ke Putu Sudiartana dianggap Partai Demokrat tak lazim dalam operasi tangkap tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Namun, sebenarnya modus transfer antarbank bukan jurus baru dalam praktik suap.
Wakil Ketua KPK Saut Situmorang mengatakan, Sudiartana mungkin merasa lebih nyaman dengan cara transfer antarbank ketimbang bertemu langsung dengan `klien`. "Saya kira ini dinamika saja. Saya lebih suka menyebutnya style, yang bersangkutan merasa aman dan nyaman dengan model menggunakan pihak ketiga," kata Saut.
Partai Demokrat menganggap, penangkapan melalui OTT harusnya ada unsur penyerahan uang tunai ke penyelenggara negara. Pada kasus Sudiartana, uang diserahkan melalui transfer antarbank.
"Ini pernyataan paling lemah dalam OTT. Ini bukan peristiwa OTT yang lazim sebagaimana diketahui, di mana pejabat publik disuap. Dalam peristiwa ini tidak ada. KPK mengatakan, yang ada bukti transfer, dan itu bukan kepada rekan kami sebagai tersangka. Ini petunjuk dalam hukum, namun harus ada bukti lanjut. Saya katakan ini adalah OTT paling lemah. Tidak seperti biasanya," jelas Juru Bicara Partai Demokrat Rachlan Nasidik.
Selain Sudiartana, KPK juga menetapkan status tersangka pada empat orang lainnya, yaitu Noviyanti, Suhaemi, Yogan Askan, dan Suprapto. Mereka ditangkap terkait kasus suap rencana pembangunan 12 ruas jalan di Sumatera Barat.
Suap diberikan agar proyek senilai Rp300 miliar itu bisa berjalan mulus dan dimasukkan ke dalam APBND-P 2016. Suhaemi, yang memiliki koneksi ke anggota DPR, sempat menjanjikan Suprapto untuk dapat memuluskannya sehingga suap terjadi.
Saat OTT, KPK turut mengamankan bukti transfer sebesar Rp500 juta dari Yogan dan Suprapto kepada Sudiartana melalui tiga nomor rekening yang berbeda, salah satunya Noviyanti. Selain itu, KPK juga mengamankan uang tunai SGD40 ribu di kediaman Sudiartana.
Yogan Askan dan Suprapto ditetapkan sebagai tersangka pemberi suap. Keduanya dikenakan Pasal 5 ayat 1 huruf a atau Pasal 5 ayat 1 huruf b dan atau Pasal 13 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP.
Sedangkan Sudiartana, Noviyanti, dan Suhaemi jadi tersangka penerima suap. Mereka disangkakan Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b dan atau Pasal 11 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP.
medcom.id, Jakarta: Dukungan moral diberikan mantan Kader Partai Demokrat I Gede Pasek Suardika kepada Wakil Bendahara Umum Partai Demokrat I Putu Sudiartana. Pasek berharap Sudiartana tabah menghadapi cobaan yang dihadapi saat ini.
"Saya sedih juga mendengar pernyataan pimpinan DPP PD yang seakan lepas tangan dan tidak tahu-menahu, bahkan katanya langsung memecat. Saya sih berharap Putu bisa buka saja apa yang terjadi, kalau DPP sekarang tidak memperdulikan sementara tugasnya dibebankan ke dirinya," kata Pasek, Kamis (30/6/2016).
Pasek menduga korupsi yang melibatkan Sudiartana ada kaitannya dengan jabatan Wakil Bendahara Umum Partai Demokrat yang melekat pada diri anggota Komisi III DPR itu. Dugaan itu muncul, kata Pasek, karena dalam kasus ini ada beberapa keganjilan.
Sudiartana, jelas Pasek, adalah anggota Komisi III DPR Fraksi Demokrat dari daerah pemilihan Bali. Sementara kasus yang disangkakan adalah 12 proyek jalan raya. Proyek itu jelas bukan ranah Komisi III, apalagi lokasi proyek di Sumatera Barat.
"Saya takutnya karena proyek yang digarap itu enggak terkait dengan Komisi III yang dibidanginya, maka itu bisa saja karena posisi di Banggar dan Wabendum yang disandangnya," kata Pasek.
Loyalis mantan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum ini mengatakan, pengangkatan Sudiartana sebagai salah satu penanggung jawab keuangan partai juga janggal. Pengangkatan Sudiartana itu dianggap instan karena tidak melalui jalur karir dari bawah.
"Saya saja memulai karir dulu di PD sejak 2004 menjadi Wakil Ketua Tim Kampanye SBY-JK di Bali. Lalu Ketua Dewan Pakar DPD PD Bali dan setelah itu baru menjadi Ketua Departemen Pemuda dan Olahraga serta terakhir sebagai Ketua Divisi Komunikasi Publik. Sangat berjenjang dan tidak begitu saja," ucap dia.
Karena itu, Pasek menegaskan, harus ada kecurigaan Sudiartana mudah mendapatkan tempat spesial. Tidak hanya di partai, Putu Sudiartana bahkan menjadi salah satu anggota di Badan Anggaran.
KPK menangkap Sudiartana pada Selasa malam, 28 Juni, di rumah dinasnya di Kawasan Ulujami, Jakarta Selatan. Selain Sudiartana, KPK menangkap lima orang lainnya di Petamburan, Jakarta, Padang, Sumatera Barat dan Tebing Tinggi, Sumatera Utara.
Penyerahan uang suap dari pengusaha ke Putu Sudiartana dianggap Partai Demokrat tak lazim dalam operasi tangkap tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Namun, sebenarnya modus transfer antarbank bukan jurus baru dalam praktik suap.
Wakil Ketua KPK Saut Situmorang mengatakan, Sudiartana mungkin merasa lebih nyaman dengan cara transfer antarbank ketimbang bertemu langsung dengan `klien`. "Saya kira ini dinamika saja. Saya lebih suka menyebutnya style, yang bersangkutan merasa aman dan nyaman dengan model menggunakan pihak ketiga," kata Saut.
Partai Demokrat menganggap, penangkapan melalui OTT harusnya ada unsur penyerahan uang tunai ke penyelenggara negara. Pada kasus Sudiartana, uang diserahkan melalui transfer antarbank.
"Ini pernyataan paling lemah dalam OTT. Ini bukan peristiwa OTT yang lazim sebagaimana diketahui, di mana pejabat publik disuap. Dalam peristiwa ini tidak ada. KPK mengatakan, yang ada bukti transfer, dan itu bukan kepada rekan kami sebagai tersangka. Ini petunjuk dalam hukum, namun harus ada bukti lanjut. Saya katakan ini adalah OTT paling lemah. Tidak seperti biasanya," jelas Juru Bicara Partai Demokrat Rachlan Nasidik.
Selain Sudiartana, KPK juga menetapkan status tersangka pada empat orang lainnya, yaitu Noviyanti, Suhaemi, Yogan Askan, dan Suprapto. Mereka ditangkap terkait kasus suap rencana pembangunan 12 ruas jalan di Sumatera Barat.
Suap diberikan agar proyek senilai Rp300 miliar itu bisa berjalan mulus dan dimasukkan ke dalam APBND-P 2016. Suhaemi, yang memiliki koneksi ke anggota DPR, sempat menjanjikan Suprapto untuk dapat memuluskannya sehingga suap terjadi.
Saat OTT, KPK turut mengamankan bukti transfer sebesar Rp500 juta dari Yogan dan Suprapto kepada Sudiartana melalui tiga nomor rekening yang berbeda, salah satunya Noviyanti. Selain itu, KPK juga mengamankan uang tunai SGD40 ribu di kediaman Sudiartana.
Yogan Askan dan Suprapto ditetapkan sebagai tersangka pemberi suap. Keduanya dikenakan Pasal 5 ayat 1 huruf a atau Pasal 5 ayat 1 huruf b dan atau Pasal 13 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP.
Sedangkan Sudiartana, Noviyanti, dan Suhaemi jadi tersangka penerima suap. Mereka disangkakan Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b dan atau Pasal 11 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(YDH)