Jakarta: Rancangan Undang-Undang Daerah Khusus Jakarta (RUU DKJ) memuat ketentuan Dewan Aglomerasi dipimpin wakil presiden. Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian menjelaskan badan tersebut dipimpin RI 2.
Tito menjelaskan kawasan aglomerasi adalah harmonisasi program perencanaan dan evaluasi secara reguler. Maka, lahirlah kesimpulan bahwa untuk melakukan sinkronisasi diperlukan peran dari presiden atau wakil presiden.
"Kita melihat itu bahwa presiden memiliki tanggungjawab nasional yang luas sekali, maka perlu lebih spesifik ditangani wapres," kata Tito dalam Rapat Kerja RUU DKJ di Kompleks Parlemen, Senayan Jakarta, Rabu, 13 Maret 2024.
Dia menyampaikan keputusan tersebut merupakan kesimpulan tim penyusun RUU DKJ. Tim berisikan sejumlah pakar.
“(Tim penyusunan draf RUU DKJ) di antaranya melibatkan ahli-ahli, termasuk ahli-ahli perkotaan dari ITB, UI, Universitas Gadjah Mada, termasuk juga pakar hukum tata negara adalah Bapak Jimly Assidiqie,” ungkap dia.
Pembentukan tim diperlukan untuk menuntaskan persoalan lalu lintas, polusi, banjir, migrasi penduduk hingga masalah di bidang kesehatan. Maka, diperlukan harmonisasi dan penataan serta evaluasi untuk wilayah Jakarta dan sekitarnya.
"Oleh karena itu, ada berbagai istilah yang saat itu muncul apakah membentuk namanya kawasan metropolitan Jakarta, Jabodetabek atau namanya megapolitan atau namanya aglomerasi," terang Tito.
Tito membeberkan sejumlah pihak menentang jika kawasan Jakarta dan sekitarnya dinamai megapolitan dan metropolitan. Lantaran dianggap akan dijadikan dalam satu pemerintahan.
Maka, akhirnya disepakati sebagai kawasan aglomerasi. "Artinya tidak ada keterikatan masalah administrasi pemerintahan, tapi ini satu kawasan yang perlu diharmonisasikan program-programnya. Terutama yang menjadi common problem," tutur Tito.
Jakarta: Rancangan Undang-Undang Daerah Khusus Jakarta (
RUU DKJ) memuat ketentuan Dewan Aglomerasi dipimpin wakil presiden. Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian menjelaskan badan tersebut dipimpin RI 2.
Tito menjelaskan kawasan aglomerasi adalah harmonisasi program perencanaan dan evaluasi secara reguler. Maka, lahirlah kesimpulan bahwa untuk melakukan sinkronisasi diperlukan peran dari presiden atau wakil presiden.
"Kita melihat itu bahwa presiden memiliki tanggungjawab nasional yang luas sekali, maka perlu lebih spesifik ditangani wapres," kata Tito dalam Rapat Kerja RUU DKJ di Kompleks Parlemen, Senayan Jakarta, Rabu, 13 Maret 2024.
Dia menyampaikan keputusan tersebut merupakan kesimpulan tim penyusun RUU DKJ. Tim berisikan sejumlah pakar.
“(Tim penyusunan draf RUU DKJ) di antaranya melibatkan ahli-ahli, termasuk ahli-ahli perkotaan dari ITB, UI, Universitas Gadjah Mada, termasuk juga pakar hukum tata negara adalah Bapak Jimly Assidiqie,” ungkap dia.
Pembentukan tim diperlukan untuk menuntaskan persoalan lalu lintas, polusi, banjir, migrasi penduduk hingga masalah di bidang kesehatan. Maka, diperlukan harmonisasi dan penataan serta evaluasi untuk wilayah Jakarta dan sekitarnya.
"Oleh karena itu, ada berbagai istilah yang saat itu muncul apakah membentuk namanya kawasan metropolitan Jakarta, Jabodetabek atau namanya megapolitan atau namanya aglomerasi," terang Tito.
Tito membeberkan sejumlah pihak menentang jika kawasan Jakarta dan sekitarnya dinamai megapolitan dan metropolitan. Lantaran dianggap akan dijadikan dalam satu pemerintahan.
Maka, akhirnya disepakati sebagai kawasan aglomerasi. "Artinya tidak ada keterikatan masalah administrasi pemerintahan, tapi ini satu kawasan yang perlu diharmonisasikan program-programnya. Terutama yang menjadi
common problem," tutur Tito.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(ABK)