Anggota Pansus Pelindo sekaligus Wasekjen DPP PKB, Daniel Johan.--Foto:MI/Rommy Pujianto
Anggota Pansus Pelindo sekaligus Wasekjen DPP PKB, Daniel Johan.--Foto:MI/Rommy Pujianto

Pansus Pelindo Kantongi Fakta Kontrak JICT Rugikan Negara

Misbahol Munir • 19 November 2015 10:51
medcom.id, Jakarta: Temuan indikasi dugaan terjadinya korupsi di Pelindo II semakin kuat. Anggota Panitia Khusus Angket Pelindo II Daniel Johan mengungkapkan, setelah rapat Pansus dengan tiga konsultan keuangan diperoleh fakta bahwa kontrak pengelolaan Terminal Peti Kemas Jakarta antara Pelindo II dengan Hutchinson Port Holding merugikan negara.
 
"Kontrak JICT bukan hanya kesalahan manajemen Pelindo II, namun juga ada indikasi unsur perampokan kekayaan dan aset negara," kata  Daniel Johan di Jakarta, seperti dilansir Antara, Kamis (19/11/2015).
 
Pansus telah melakukan rapat dengan tiga konsultan keuangan PT Pelindo II, yaitu Deutsche Bank (DB), Financial Research Institute (FRI), dan Bahana Securitas, Rabu 18 November. 
 
Keterangan pihak-pihak itu, menurut Daniel, dikaitkan Pansus Pelindo II untuk menilai klaim Dirut Pelindo II RJ Lino bahwa JICT akan lebih menguntungkan bila dikelola asing, dalam hal ini Hutchinson Port Holding (HPH), perusahaan asal Hong Kong.
 
FRI mengungkapkan, bila Indonesia menjalankan sendiri JICT akan lebih untung daripada dikelola Hutchinson. Sebaliknya, Deutsche Bank dalam paparannya menjelaskan akan lebih menguntungkan jika dikelola Hutchinson.
 
"Seperti disampaikan Deutsche Bank kepada Pansus, bahwa bila kontrak pengelolaan JICT dengan HPH habis pada 2019 dan lalu diperpanjang, Indonesia hanya mendapat 200 juta dolar melalui PT. Pelindo II," tegas politkus PKB itu.
 
Menurut Daniel, Deutsche Bank menilai kalau tidak diperpanjang, Indonesia harus mengembalikan ke Hutchinson sebesar USD400 juta. Asumsi itu muncul karena dihitung nilai aset JICT pada 2019 adalah USD800 juta. Sebesar 51 persen saham JICT atau USD400 juta adalah milik Hutchinson.
 
"Padahal sebenarnya dikontrak yang ditandatangani tahun 1999, jelas tertulis bahwa saat putus kontrak, maka Indonesia hanya wajib mengembalikan USD50-60 juta sehingga bukan USD400 juta," katanya.
 
Dia mengatakan, meskipun logika Deutsche Bank diikuti, tetap saja Indonesia merugi karena Pelindo II hanya mendapat fee di muka USD200 juta. Artinya, menurut dia, aset hanya dinilai USD400 juta dan 49 persen saham Indonesia hanya dinilai USD200 juta.
 
"Kalau dianggap aset USD400 juta, kita kasih 49 persen, kita dapat USD200 juta, dari aset itu saja kita rugi," katanya.
 
Daniel menilai Indonesia mengalami kerugian ganda karena Hutchinson mendapatkan hak pengelolaan JICT yang jauh lebih menguntungkan. Dia menegaskan, sebenarnya Direksi Pelindo II bisa menghentikan kerugian negara jika berpegang pada kontrak yang diteken dengan Hutchinson di 1999. Dalam kontrak itu Indonesia hanya membayar USD50-60 juta jika membatalkan kontrak dengan Hutchinson.
 
"Namun Deutsche Bank mengklaim tidak tahu karena datanya tidak diberikan pihak manajemen Pelindo II," ujarnya.
 
Daniel mengatakan dengan aset USD800 juta, Indonesia memberikannya kepada asing sebesar 50 persen saham dan kita hanya diberi USD200 juta. Selain itu menurut dia kerugian Indonesia bertambah karena uang hasil pengelolaan diambil pihak asing.
 
"Karena itu, sudah jelas indikasi pembiaran perampokan kekayaan negara lewat Pelindo II," kata Daniel.
 
Daniel menegaskan, pengelolaan sebuah pelabuhan, apakah rugi atau untung, harus tetap dikelola pihak di dalam negeri karena pelabuhan adalah pintu gerbang Indonesia.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(MBM)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan