"Kenapa kita menolak sistem pemilu secara tertutup karena angka golput akan meningkat," ungkap Dedy Ramanta dalam keterangannya, Sabtu, 21 Januari 2023.
Ia menyampaikan sistem pemilu dengan menggunakan proporsional tertutup secara langsung akan berdampak signifikan terhadap turunnya angka partisipasi masyarakat yang ingin memilih calon anggota legislatifnya. Baik di tingkat DPR, DPRD provinsi, maupun kabupaten/kota.
Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?
"Bagaimana rakyat mau berpartisipasi jika hanya disodorkan lambang partai saja. Masyarakat pasti malas datang ke TPS (tempat pemungutan suara)," ujar Dedy.
Jika masyarakat sudah cuek dan acuh tak acuh terhadap penyelenggaran pemilu dan terhadap para wakilnya di parlemen, maka, esensi demokrasi akan hilang. Sedangkan, kalau menggunakan sistem terbuka, rakyat diajak untuk memilih wakilnya secara langsung.
"Publik juga mempunyai keinginan untuk melihat figuritas dan track record para calegnya," ungkap dia.
Baca: Tiga Metode KPU Tingkatkan Partisipasi Pemilih di Luar Negeri |
Selain malas ke TPS, para caleg yang berada di nomor urut besar juga akan malas-malasan menyapa masyarakat di daerah pemilihannya. Apalagi, menampung aspirasi.
"Caleg akan ogah-ogahan untuk menampung aspirasi ke bawah dan rakyat juga malas dengan partai politik," katanya.
Menurut Dedy, proporsional terbuka lebih banyak manfaatnya. Sedangkan, proporsional tertutup lebih banyak mudaratnya bagi demokrasi, masyarakat serta partai politik.
"Buktinya dari 9 partai di parlemen, 8 partai menolak sistem proporsional tertutup," terangnya.
Eks Manager WALHI Jakarta periode 2007-2009 itu mengungkapkan menggunakan proporsional tertutup tidak menjamin politik uang akan hilang. Politik uang akan tetap ada dalam sistem pemilu.
"Kalau sistem terbuka, mungkin uang beredar di masyarakat. Sedangkan dengan sistem tertutup, politik uang untuk mendapatkan nomor urut," bebernya.
Gugatan mengenai sistem proporsional tertutup didaftarkan ke Mahkamah Konstitusi dan sudah teregistrasi dengan nomor perkara 114/PUU-XX/2022. Adapun yang menggugat sebanyak enam orang.
Para pemohon mengajukan gugatan atas Pasal 168 ayat (2) UU Nomor 7 Tahun 2017. Dalam pasal itu diatur bahwa pemilihan anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dilaksanakan dengan sistem proporsional terbuka.