Jakarta: Partai Persatuan Pembangunan (PPP) menepis anggapan usulan revisi Undang-Undang MPR, DPR, DPRD, dan DPD (UU MD3) merupakan siasat partai dengan perolehan suara rendah pada Pemilu 2019. Usulan itu juga harus disepakati pemerintah.
"Saya kira tidak, yang namanya revisi UU itu ya tetap harus kesepakatan DPR dan pemerintah," kata Sekretaris Jenderal PPP Arsul Sani di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa, 3 September 2019.
Arsul menyebut semangat revisi UU MD3 didasari wacana amendemen UUD 1945. Penambahan kursi pimpinan MPR akan mengakomodasi seluruh fraksi.
Hal itu membuat seluruh partai politik berada di level yang sama. Ia yakin partai yang mendapatkan kursi di parlemen memiliki pendapat beragam terkait amendemen.
"Dan ini bukan hal yang baru ketika amendemen itu diluncurkan pada 1999 itu kan juga semua pimpinan MPR-nya seluruh fraksi pada saat itu. Jadi ini ingin kembali pada saat itu," ungkapnya.
Kendati mengakui rencana revisi UU MD3 didasari wacana amendemen, Arsul menepis anggapan usulan penambahan pimpinan MPR ini sebagai barter politik. Arsul mengatakan dinamika politik terkait usulan revisi UU MD3 lumrah terjadi.
"Di politik itu kan bukan barter. Tetapi biasa ada partai, fraksi, yang saling bermusyawarah untuk ketemu di tengah pada sudut pandang dan kepentingan masing-masing," ungkapnya.
Badan Legislasi (Baleg) DPR ingin merevisi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 tentang MPR, DPR, DPRD, dan DPD (UU MD3). Revisi salah satunya menyasar Pasal 15 terkait komposisi pimpinan MPR yang terdiri dari satu ketua dan paling banyak sembilan wakil.
Dewan sudah membuat draf revisi UU MD3. Pembahasan draf revisi rencananya berlangsung Kamis, 29 Agustus 2019.
Namun, pembahasan batal lantaran draf belum selesai. Rapat pembahasan draf revisi UU MD3 diundur pada Senin, 2 September 2019, tapi kembali batal digelar.
"Belum ada pembahasan," kata Wakil Ketua Baleg Firman Soebagyo kepada Medcom.id, Senin, 2 September 2019.
Jakarta: Partai Persatuan Pembangunan (PPP) menepis anggapan usulan revisi Undang-Undang MPR, DPR, DPRD, dan DPD (UU MD3) merupakan siasat partai dengan perolehan suara rendah pada Pemilu 2019. Usulan itu juga harus disepakati pemerintah.
"Saya kira tidak, yang namanya revisi UU itu ya tetap harus kesepakatan DPR dan pemerintah," kata Sekretaris Jenderal PPP Arsul Sani di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa, 3 September 2019.
Arsul menyebut semangat revisi UU MD3 didasari wacana amendemen UUD 1945. Penambahan kursi pimpinan MPR akan mengakomodasi seluruh fraksi.
Hal itu membuat seluruh partai politik berada di level yang sama. Ia yakin partai yang mendapatkan kursi di parlemen memiliki pendapat beragam terkait amendemen.
"Dan ini bukan hal yang baru ketika amendemen itu diluncurkan pada 1999 itu kan juga semua pimpinan MPR-nya seluruh fraksi pada saat itu. Jadi ini ingin kembali pada saat itu," ungkapnya.
Kendati mengakui rencana revisi UU MD3 didasari wacana amendemen, Arsul menepis anggapan usulan penambahan pimpinan MPR ini sebagai barter politik. Arsul mengatakan dinamika politik terkait usulan revisi UU MD3 lumrah terjadi.
"Di politik itu kan bukan barter. Tetapi biasa ada partai, fraksi, yang saling bermusyawarah untuk ketemu di tengah pada sudut pandang dan kepentingan masing-masing," ungkapnya.
Badan Legislasi (Baleg) DPR ingin merevisi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 tentang MPR, DPR, DPRD, dan DPD (UU MD3). Revisi salah satunya menyasar Pasal 15 terkait komposisi pimpinan MPR yang terdiri dari satu ketua dan paling banyak sembilan wakil.
Dewan sudah membuat draf revisi UU MD3. Pembahasan draf revisi rencananya berlangsung Kamis, 29 Agustus 2019.
Namun, pembahasan batal lantaran draf belum selesai. Rapat pembahasan draf revisi UU MD3 diundur pada Senin, 2 September 2019, tapi kembali batal digelar.
"Belum ada pembahasan," kata Wakil Ketua Baleg Firman Soebagyo kepada
Medcom.id, Senin, 2 September 2019.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id(DRI)