Jakarta: Big data diyakini bakal berperan di Pemilihan Kepala Daerah 2018 dan Pemilihan Anggota Legislatif serta Pemilihan Presiden 2019. Keyakinan itu dilontarkan Ketua DPR Bambang Soesatyo (Bamsoet). Menurutnya, strategi konvensional tak lagi mampu memenangi kontestasi di era digital dan teknologi yang berkembang pesat saat ini.
Serbuan media sosial dan kecanggihan teknologi, menurutnya, akan memengaruhi masyarakat dalam menilai partai politik, politisi, kandidat kepala daerah, hingga kandidat presiden. Big data lantas dimanfaatkan partai politik untuk bisa mempelajari karakter pemilih untuk kemudian merebut simpati mereka.
Big data merupakan istilah yang menggambarkan volume data yang besar, baik data yang terstruktur maupun acak. Data ini lantas diklasifikasi untuk dimanfaatkan sebagai upaya mencapai tujuan.
“Di zaman old, para politisi biasanya menganalisis potensi perolehan suara berdasarkan distrik. Misalnya, dengan membagi dapil (daerah pemilihan) berdasarkan mayoritas-minoritas."
"Setelah adanya big data, para politisi bisa memanfaatkannya untuk memetakan demografi, sejarah kontribusi pemilih dalam politik, pandangan politik pemilih, hingga urusan remeh seperti konsumsi media, aktivitas di media sosial, dan status kepemilikan rumah atau kendaraan,” kata Bamsoet melalui keterangan tertulis, Sabtu, 7 April 2018.
Ia yakin pemanfaatan big data akan moncer menjadi salah satu cara memenangi pilkada, pileg, serta pilpres. Menurutnya, penggunaan teknologi akan menjadikan kampanye politik lebih rasional karena berbasis fakta, data, dan analisis yang valid.
Berhasil di sejumlah negara
Salah satu bukti efektivitas big data, kata Bamsoet, adalah penggunaan data Facebook oleh Cambridge Analytica untuk membantu memenangkan Donald Trump dalam Pilpres 2016 Amerika Serikat. Padahal, dalam berbagai survei sebelumnya, popularitas Hillary Clinton sebagai pesaing utama Trump jauh lebih unggul.
“Trump telah membuktikan keampuhan big data. Walaupun, akhirnya Facebook terkena imbas negatif akibat kebocaran data penggunanya yang dimanfaatkan untuk kepentingan politik,” kata Bamsoet.
Baca: Apakah Big Data Gagal Prediksi Kemenangan Donald Trump?
Mantan ketua Komisi III DPR ini menambahkan, di Amerika Serikat penggunaan big data dalam pilpres bukan hal yang baru. Pada kampanye Pilpres 2004, George W Bush telah memanfaatkan big data dalam kampanye politiknya. Hal serupa juga dilakukan Barack Obama. Bahkan, tim kampanye Obama membentuk tim analis data yang terdiri dari 100 staf analis untuk memastikan target pemilih.
“Pada Pemilu 2013 di Kenya, Uhuru Kenyatta menggandeng Cambridge Analytica untuk mengolah data pemilih guna menghadirkan kampanye yang tepat sasaran. Politisi India dan Malaysia juga akan menggunakan big data dalam pemilu di negaranya,” papar Bamsoet.
Pemanfaatan big data untuk strategi pemenangan pemilu di Indonesia, menurutnya, tak akan sukar. Terlebih saat ini pengguna smartphone di Indonesia mencapai 160 juta orang. Pengguna aktif media sosial di Indonesia juga sudah mencapai 130 juta orang dengan rata-rata berselancar antara 23 menit hingga 3 jam setiap hari.
“Jadi, siapa pun yang mampu memanfaatkan big data akan unggul dalam bidang apa saja. Baik bisnis, intelijen, politik, serta bidang lainnya. Data-data yang ada bisa diolah menjadi salah satu senjata utama dalam memenangi berbagai pertarungan, termasuk pertarungan politik,” ucapnya.
<iframe class="embedv" width="560" height="315" src="https://www.medcom.id/embed/ybJ64AAb" allowfullscreen></iframe>
Jakarta: Big data diyakini bakal berperan di Pemilihan Kepala Daerah 2018 dan Pemilihan Anggota Legislatif serta Pemilihan Presiden 2019. Keyakinan itu dilontarkan Ketua DPR Bambang Soesatyo (Bamsoet). Menurutnya, strategi konvensional tak lagi mampu memenangi kontestasi di era digital dan teknologi yang berkembang pesat saat ini.
Serbuan media sosial dan kecanggihan teknologi, menurutnya, akan memengaruhi masyarakat dalam menilai partai politik, politisi, kandidat kepala daerah, hingga kandidat presiden. Big data lantas dimanfaatkan partai politik untuk bisa mempelajari karakter pemilih untuk kemudian merebut simpati mereka.
Big data merupakan istilah yang menggambarkan volume data yang besar, baik data yang terstruktur maupun acak. Data ini lantas diklasifikasi untuk dimanfaatkan sebagai upaya mencapai tujuan.
“Di zaman
old, para politisi biasanya menganalisis potensi perolehan suara berdasarkan distrik. Misalnya, dengan membagi dapil (daerah pemilihan) berdasarkan mayoritas-minoritas."
"Setelah adanya big data, para politisi bisa memanfaatkannya untuk memetakan demografi, sejarah kontribusi pemilih dalam politik, pandangan politik pemilih, hingga urusan remeh seperti konsumsi media, aktivitas di media sosial, dan status kepemilikan rumah atau kendaraan,” kata Bamsoet melalui keterangan tertulis, Sabtu, 7 April 2018.
Ia yakin pemanfaatan big data akan moncer menjadi salah satu cara memenangi pilkada, pileg, serta pilpres. Menurutnya, penggunaan teknologi akan menjadikan kampanye politik lebih rasional karena berbasis fakta, data, dan analisis yang valid.
Berhasil di sejumlah negara
Salah satu bukti efektivitas big data, kata Bamsoet, adalah penggunaan data
Facebook oleh Cambridge Analytica untuk membantu memenangkan Donald Trump dalam Pilpres 2016 Amerika Serikat. Padahal, dalam berbagai survei sebelumnya, popularitas Hillary Clinton sebagai pesaing utama Trump jauh lebih unggul.
“Trump telah membuktikan keampuhan big data. Walaupun, akhirnya
Facebook terkena imbas negatif akibat kebocaran data penggunanya yang dimanfaatkan untuk kepentingan politik,” kata Bamsoet.
Baca:
Apakah Big Data Gagal Prediksi Kemenangan Donald Trump?
Mantan ketua Komisi III DPR ini menambahkan, di Amerika Serikat penggunaan big data dalam pilpres bukan hal yang baru. Pada kampanye Pilpres 2004, George W Bush telah memanfaatkan big data dalam kampanye politiknya. Hal serupa juga dilakukan Barack Obama. Bahkan, tim kampanye Obama membentuk tim analis data yang terdiri dari 100 staf analis untuk memastikan target pemilih.
“Pada Pemilu 2013 di Kenya, Uhuru Kenyatta menggandeng Cambridge Analytica untuk mengolah data pemilih guna menghadirkan kampanye yang tepat sasaran. Politisi India dan Malaysia juga akan menggunakan big data dalam pemilu di negaranya,” papar Bamsoet.
Pemanfaatan big data untuk strategi pemenangan pemilu di Indonesia, menurutnya, tak akan sukar. Terlebih saat ini pengguna
smartphone di Indonesia mencapai 160 juta orang. Pengguna aktif media sosial di Indonesia juga sudah mencapai 130 juta orang dengan rata-rata berselancar antara 23 menit hingga 3 jam setiap hari.
“Jadi, siapa pun yang mampu memanfaatkan big data akan unggul dalam bidang apa saja. Baik bisnis, intelijen, politik, serta bidang lainnya. Data-data yang ada bisa diolah menjadi salah satu senjata utama dalam memenangi berbagai pertarungan, termasuk pertarungan politik,” ucapnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(UWA)