Jakarta: Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) diimbau tak perlu mengkhawatirkan revisi kitab undang-undang hukum pidana (KUHP). Pasal tipikor dalam revisi KUHP hanya mengatur secara umum.
Anggota Komisi III DPR RI Trimedya Panjaitan menjelaskan Pasal 723 tentang tindak pidana korupsi di RUU KUHP mengatur pidana induknya. Pasalnya, pidana korupsi bukan saja dominasi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
"Korupsi bukan dominasi KPK, ada Kepolisian dan Kejaksaan juga. Makanya harus ada di KUHP," kata Trimedya di kompleks Parlemen, Senayan, Rabu, 6 Juni 2018.
Politikus itu mengatakan, kewenangan tetap dikembalikan ke undang-undang organik masing-masing lembaga penegak hukum.
"Spesifikasinya KPK ada. Makanya dibilang lex specialis. Kenapa ada di KUHP karena Kepolisian dan Kejaksaan menangani korupsi juga. Makanya di polisi ada Dirkrimsus. Kejaksaan ada Jampidsus," jelasnya.
Trimedya tidak khawatir pasal tipikor ini menimbulkan tumpang tindih kewenangan. Pasal Tipikor tidak mengatur kewenangan lembaga. Soal kewenangan dikembalikan ke UU instansi terkait.
"Sebagai pemandu. Kan nanti ada UU Kejaksaan, Kepolisian, KPK. itu nanti kepada UU organik masing-masing," jelasnya.
Baca: Masyarakat Diharapkan Beri Masukan untuk RUU KUHP
Trimedya heran hanya KPK yang keberatan dengan pasal tipikor. Sementara Kepolisian dan Kejaksaan yang juga berwenang menangani kasus korupsi tak keberatan.
"Kalau KPK keberatan, seharusnya polisi sama jaksa juga keberatan. KUHP untuk memayungi semua, karena dulu yang zaman Belanda belum ada KPK. Supaya jelas induknya," ujarnya.
Sebelumnya, KPK meminta pemerintah mencabut sejumlah pasal yang mengatur tindak pidana korupsi (tipikor) yang tercantum dalam revisi KUHP. Lembaga Antirasuah berharap pemerintah bisa mengesahkan UU Tipikor sebagai UU khusus, seperti UU Antiterorisme yang baru disahkan.
"DPR bersama Presiden telah mengesahkan UU Antiterorisme sebagai UU khusus, bukan justru memilih memasukkan aturan tersebut di revisi KUHP," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah saat dikonfirmasi, Jakarta, Kamis, 31 Mei 2018.
Surat pertama dikirimkan KPK pada 14 Desember 2016. Kemudian surat kedua dikirim pada 4 Januari 2017, disusul surat ketiga pada 13 Januari 2017. Lalu, surat keempat dikirimkan kembali pada 24 Mei 2017 dan surat terakhir dikirim pada 13 Februari 2018.
Febri mengatakan pihaknya masih percaya Presiden Joko Widodo tidak akan membiarkan pemberantasan korupsi dilemahkan. Atas hal tersebut, KPK meminta Jokowi bisa bersikap tegas soal revisi KUHP, yang akan disahkan dalam waktu dekat.
<iframe class="embedv" width="560" height="315" src="https://www.medcom.id/embed/Obzdmv9K" allowfullscreen></iframe>
Jakarta: Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) diimbau tak perlu mengkhawatirkan revisi kitab undang-undang hukum pidana (KUHP). Pasal tipikor dalam revisi KUHP hanya mengatur secara umum.
Anggota Komisi III DPR RI Trimedya Panjaitan menjelaskan Pasal 723 tentang tindak pidana korupsi di RUU KUHP mengatur pidana induknya. Pasalnya, pidana korupsi bukan saja dominasi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
"Korupsi bukan dominasi KPK, ada Kepolisian dan Kejaksaan juga. Makanya harus ada di KUHP," kata Trimedya di kompleks Parlemen, Senayan, Rabu, 6 Juni 2018.
Politikus itu mengatakan, kewenangan tetap dikembalikan ke undang-undang organik masing-masing lembaga penegak hukum.
"Spesifikasinya KPK ada. Makanya dibilang lex specialis. Kenapa ada di KUHP karena Kepolisian dan Kejaksaan menangani korupsi juga. Makanya di polisi ada Dirkrimsus. Kejaksaan ada Jampidsus," jelasnya.
Trimedya tidak khawatir pasal tipikor ini menimbulkan tumpang tindih kewenangan. Pasal Tipikor tidak mengatur kewenangan lembaga. Soal kewenangan dikembalikan ke UU instansi terkait.
"Sebagai pemandu. Kan nanti ada UU Kejaksaan, Kepolisian, KPK. itu nanti kepada UU organik masing-masing," jelasnya.
Baca: Masyarakat Diharapkan Beri Masukan untuk RUU KUHP
Trimedya heran hanya KPK yang keberatan dengan pasal tipikor. Sementara Kepolisian dan Kejaksaan yang juga berwenang menangani kasus korupsi tak keberatan.
"Kalau KPK keberatan, seharusnya polisi sama jaksa juga keberatan. KUHP untuk memayungi semua, karena dulu yang zaman Belanda belum ada KPK. Supaya jelas induknya," ujarnya.
Sebelumnya, KPK meminta pemerintah mencabut sejumlah pasal yang mengatur tindak pidana korupsi (tipikor) yang tercantum dalam revisi KUHP. Lembaga Antirasuah berharap pemerintah bisa mengesahkan UU Tipikor sebagai UU khusus, seperti UU Antiterorisme yang baru disahkan.
"DPR bersama Presiden telah mengesahkan UU Antiterorisme sebagai UU khusus, bukan justru memilih memasukkan aturan tersebut di revisi KUHP," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah saat dikonfirmasi, Jakarta, Kamis, 31 Mei 2018.
Surat pertama dikirimkan KPK pada 14 Desember 2016. Kemudian surat kedua dikirim pada 4 Januari 2017, disusul surat ketiga pada 13 Januari 2017. Lalu, surat keempat dikirimkan kembali pada 24 Mei 2017 dan surat terakhir dikirim pada 13 Februari 2018.
Febri mengatakan pihaknya masih percaya Presiden Joko Widodo tidak akan membiarkan pemberantasan korupsi dilemahkan. Atas hal tersebut, KPK meminta Jokowi bisa bersikap tegas soal revisi KUHP, yang akan disahkan dalam waktu dekat.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(FZN)