Ilustrasi gedung DPR. Foto: MI/Susanto
Ilustrasi gedung DPR. Foto: MI/Susanto

BPN Diminta Benahi Sertifikat Ganda sebelum Terapkan Sistem Elektronik

Media Indonesia.com • 18 Februari 2021 21:33
Jakarta: Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tidak yakin sengketa pertanahan akan selesai begitu sertifikat tanah elektronik diterapkan. Wakil rakyat meminta Badan Pertanahan Nasional (BPN) membenahi dulu persoalan sertifikat ganda. 
 
Wakil Ketua Komisi II DPR RI, Junimart Girsang, mengatakan sertifikat ganda bisa ditekan dengan membenahi sumber daya manusia di Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR/BPN) itu sendiri.
 
"Saya tidak percaya masalah pertanahan akan selesai. Saya melihat, yang perlu dibenahi adalah SDM. Kenapa? Karena masalah-masalah sertifikat ganda muncul karena oknum di Kementerian ATR/BPN," kata Junimart, melalui keterangan tertulis, Kamis, 18 Februari 2021.

Seharusnya, kata dia, upaya digitalisasi dikhususkan dulu untuk internal BPN. Sebatas memastikan data kementerian satu data. "Jadi, ketika ada kasus sertifikat ganda, bisa ketahuan mana yang bukan produk BPN. Itu saja,” ujarnya.
 
Komisi II DPR menjadwalkan rapat dengar pendapat dengan Kementerian ATR/BPN untuk mempertanyakan penerapan Peraturan Menteri (Permen) Nomor 11 Tahun 2021 tentang Sertifikat Elektronik ini. “Apa tujuannya? Kalau cuma memenuhi UU Omnibus Law, tidak harus,” katanya. 
 
Hal yang serupa disampaikan Anggota DPD RI asal Sulawesi Tengah, Abdul Rachman Thaha. Kata dia, seharusnya Kementerian ATR/BPN fokus menguatkan penindakan terhadap oknum-oknum internal BPN. 
 
"Masih banyak tanah bermasalah di berbagai daerah. Belum lagi mafia-mafia tanah ikut bermain menerbitkan sertifikat ganda itu bekerja sama dengan oknum di BPN. Ini sebenarnya bukan masalah baru," kata dia.
 
Thaha melihat perlu ada kajian lagi sebelum program sertifikat elektronik ini diterapkan. Hal ini bertujuan menghindarkan masyarakat dari masalah baru. Misalnya, masalah batas-batas tanah yang tidak sesuai dengan sertifikat fisik yang dimiliki masyarakat.
 
"Kementerian ATR/BPN perlu mengedepankan asas kehatian-hatian untuk mengubah sertifikat fisik ke sertifikat elektronik. Ini sangat rawan, bisa memunculkan konflik di tengah masyarakat. Apalagi di era gital begini semua bisa direkayasa,” sebutnya.
 

Rampas tanah adat

Sementara itu, Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Rukka Sombolinggi, khawatir sertifikat tanah elektronik akan semakin melanggengkan perampasan wilayah adat. Terlebih, sejauh ini, belum ada sertifikat tanah kolektif yang diberikan pemerintah kepada masyarakat adat.
 
"Fokus kami adalah ketika ini akan dijadikan alat memperluas dan merampas hak wilayah adat untuk perusahaan," kata Rukka.
 
Rukka pun mempertanyakan urgensi penerapan sertifikat tanah elektronik saat ini. Padahal, pemerintah harus menyelesaikan dulu konflik-konflik pertanahan sebelum bicara soal sertifikat elektronik.
 
"Ini bisa sangat mengancam dan membuat masif perampasan tanah adat oleh korporasi dan individu yang masuk mengkavling-kavlingkan wilayah adat. Sekarang, semua sudah terjadi di mana-mana. Pejabat dan politisi bagaimana bisa punya tanah di wilayah adat," kata dia.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(UWA)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan