Jakarta: Majelis Rakyat Papua (MRP) mengkritik pembahasan rancangan undang-undang (RUU) terkait pembentukan provinsi baru di Bumi Cenderawasih. Pasalnya, penyusunan bakal beleid tersebut tidak melibatkan orang asli Papua (OAP).
“Persetujuan pembentukan tiga provinsi baru Papua itu bagaikan petir di siang bolong. Tidak ada dengar pendapat yang memadai, tiba-tiba DPR menyetujui tiga buah RUU," kata Ketua MRP untuk Provinsi Papua Timotius Murib melalui keterangan tertulis, Minggu, 10 April 2022.
Timotius menyampaikan pembahasan yang dilakukan secara diam-diam ini dianggap mencederai semangat otonomi khusus (otsus). Eksekutif dan legislatif seharusnya tidak terburu-buru dalam memutuskan pemekaran Papua.
Dampak kebijakan ini telah melepaskan sebagian besar wilayah kultural MRP dan wilayah pemerintahan provinsi Papua. Dipangkas besar-besaran,” ungkap dia.
Timotius mengingatkan pesan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam pemekaran pemerintahan daerah di Pulau Papua. Yakni, harus menyejahterakan dan mengevaluasi otonomi khusus.
Timotius menilai pembantu Jokowi salah memahami otsus dengan membentuk pemerintahan daerah baru. Pemahaman itu tak lepas dari Undang-Undang (UU) Nomor 2 Tahun 2021 tentang Otsus Papua.
Baca: DPR: 3 Provinsi Baru untuk Melayani Papua Lebih Baik
Dia menyampaikan UU Otsus dianggap mengabaikan Pasal 77 UU Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus untuk Provinsi Papua. Yakni, wajib melakukan konsultasi dengan rakyat Papua dalam upaya pemekaran wilayah.
"Dalam Otonomi Khusus, pemekaran wilayah wajib memperoleh pertimbangan dan persetujuan MRP," sebut Timotius.
Dalam kesempatan yang sama, Wakil Ketua I MRP Yoel Luiz Mulait menyebut pembentukan tiga provinsi baru di Papua dinilai tidak cermat dan cacat proses. Pasalnya, dilakukan tanpa partisipasi OAP dan juga tanpa konsultasi dengan MRP.
“Ini betul-betul mencederai semangat otonomi khusus," kata Yoel.
Yoel menyampaikan sikap DPR dan pemerintah dinilai tidak mendidik publik. Justru mempertontonkan pengebirian otonomi dan hak asasi OAP dalam pembuatan kebijakan yang berdampak pada hidup mereka.
"Sebanyak tiga RUU itu didasari pada UU 2/2021 yang materinya cacat substansial dan sedang diuji konstitusionalitasnya oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Pemekaran seharusnya ditunda sampai MK memutuskan,” tegas Yoel.
Jakarta: Majelis Rakyat Papua (MRP) mengkritik pembahasan rancangan undang-undang (RUU) terkait pembentukan provinsi baru di Bumi Cenderawasih. Pasalnya, penyusunan bakal beleid tersebut tidak melibatkan orang asli
Papua (OAP).
“Persetujuan pembentukan tiga provinsi baru Papua itu bagaikan petir di siang bolong. Tidak ada dengar pendapat yang memadai, tiba-tiba DPR menyetujui tiga buah RUU," kata Ketua MRP untuk Provinsi Papua Timotius Murib melalui keterangan tertulis, Minggu, 10 April 2022.
Timotius menyampaikan pembahasan yang dilakukan secara diam-diam ini dianggap mencederai semangat
otonomi khusus (otsus). Eksekutif dan legislatif seharusnya tidak terburu-buru dalam memutuskan pemekaran Papua.
Dampak kebijakan ini telah melepaskan sebagian besar wilayah kultural MRP dan wilayah pemerintahan provinsi Papua. Dipangkas besar-besaran,” ungkap dia.
Timotius mengingatkan pesan Presiden Joko Widodo (
Jokowi) dalam pemekaran pemerintahan daerah di Pulau Papua. Yakni, harus menyejahterakan dan mengevaluasi otonomi khusus.
Timotius menilai pembantu Jokowi salah memahami otsus dengan membentuk pemerintahan daerah baru. Pemahaman itu tak lepas dari Undang-Undang (UU) Nomor 2 Tahun 2021 tentang Otsus Papua.
Baca:
DPR: 3 Provinsi Baru untuk Melayani Papua Lebih Baik
Dia menyampaikan UU Otsus dianggap mengabaikan Pasal 77 UU Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus untuk Provinsi Papua. Yakni, wajib melakukan konsultasi dengan rakyat Papua dalam upaya pemekaran wilayah.
"Dalam Otonomi Khusus, pemekaran wilayah wajib memperoleh pertimbangan dan persetujuan MRP," sebut Timotius.
Dalam kesempatan yang sama, Wakil Ketua I MRP Yoel Luiz Mulait menyebut pembentukan tiga provinsi baru di Papua dinilai tidak cermat dan cacat proses. Pasalnya, dilakukan tanpa partisipasi OAP dan juga tanpa konsultasi dengan MRP.
“Ini betul-betul mencederai semangat otonomi khusus," kata Yoel.
Yoel menyampaikan sikap DPR dan pemerintah dinilai tidak mendidik publik. Justru mempertontonkan pengebirian otonomi dan hak asasi OAP dalam pembuatan kebijakan yang berdampak pada hidup mereka.
"Sebanyak tiga RUU itu didasari pada UU 2/2021 yang materinya cacat substansial dan sedang diuji konstitusionalitasnya oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Pemekaran seharusnya ditunda sampai MK memutuskan,” tegas Yoel.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(ADN)