medcom.id, Jakarta: Pencairan dana Rp1,4 miliar ke desa yang dilakukan dalam tiga tahap mulai April 2015, dinilai dapat menjadi momentum percepatan pemberantasan kemiskinan kaum perempuan di desa-desa. Pencairan dana tersebut merupakan implementasi dari UU No 6 tahun 2014 tentang Desa (UU Desa) yang baru saja disahkan.
“Ini adalah momentum bagi percepatan pemberdayaan perempuan. Sebabnya kebanyakan perempuan miskin di Indonesia tinggal di desa-desa,” ujar Sekretaris Jenderal Koalisi Perempuan Indonesia untuk Keadilan dan Demokrasi, Dian Kartikasari, di Jakarta, Selasa (6/1/2015).
Hadirnya dana tersebut, lanjut Dian, dapat menjadi pintu masuk dari dijalankannya pasal 14 Convention of Ellimination of All Forms of Discrimination Against Women (CEDAW), yang mengamanatkan agar perempuan pedesaan mendapatkan akses pendidikan, kesehatan, partisipasi perempuan dalam organisasi masyarakat, dan akses perempuan untuk kehidupan yang layak.
Dian menegaskan, bahwa dari sekitar 28 juta orang miskin di Indonesia yang ada pada saat ini, 63 persen tinggal di pedesaan. Dari 63 persen itu kebanyakan yang miskin adalah perempuan. Dia mengatakan, selain miskin, banyak perempuan desa yang menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga, perdagangan manusia, eksploitasi oleh keluarganya sendiri dan sebagainya.
“Di sejumlah desa, banyak anak perempuan dipaksa nikah dini oleh keluarga. Di Indramayu, misalnya, hampir 50 persen perempuannya tidak bisa baca-tulis lantaran pendidikan dianggap tidak bermanfaat bagi perempuan,” papar Dian.
Pasalnya di dalam adat istiadat yang tidak tertulis, bila dalam suatu keluarga terjadi kelaparan dan kemiskinan, anggota keluarga yang paling berat menanggungnya adalah ibu rumah tangga. Sang ibu biasanya lebih merelakan porsi makanan besar untuk suami dan anak-anak mereka. Terkadang sang ibu harus mengambil air dari sumber mata air yang jauh dan sebagainya.
Pada kesempatan itu, Dian juga mengkritik Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPP-PA) yang tidak pro aktif dalam proses penyusunan RUU Desa yang baru saja disahkan. Walhasil UU Desa dinilai belum memenuhi harapan dari pengarusutamaan gender.
Padahal banyak manfaat bagi perempuan di desa jika KPP-PA sejak awal ikut membahas RUU tersebut. Oleh karena itu, ke depan dengan cairnya dana desa, KPP-PA, lembaga sosial perempuan, aktivis perempuan dan sebagainya, wajib mengawal dan mengarahkan agar dana yang turun juga memiliki alokasi pada pemberdayaan ekonomi perempuan desa.
“Dana itu bisa dipakai untuk memperluas akses informasi usaha bagi perempuan,” tambah dia.
Selain di bidang ekonomi, dana tersebut juga bisa dipakai untuk pelatihan perempuan di bidang organisasi dan politik. Diharapkan ke depan semakin banyak perempuan desa yang menjadi kepala desa, duduk di Badan Musyawarah Desa dan sebagainya.
Dengan semakin banyaknya perempuan yang duduk di pemerintahan desa, niscaya praktik adat istiadat yang mendiskiminasikan perempuan bisa diluruskan.
Lebih jauh dia mengatakan, agar polemik pengelolaan dana desa yang diperebutkan oleh Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi dengan Kementerian Dalam Negeri tidak perlu diperpanjang. Pasalnya, hal itu akan menghambat pencairan dana tersebut.
Hal senada juga disampaikan oleh guru besar IPDN Sadi Wasisdiono. Menurutnya, yang menjadi wewenang Kemendagri dalam mengelola desa adalah di bidang pemerintahan, seperti inventarisasi desa, pemilihan kepala desa, pembentukan desa baru dan sebagainya. Sedangkan peran pemberdayaan diberikan pada kementerian yang khusus menangani soal pedesaan.
“Desa itu sejatinya adalah komunitas dan bukan otonomi pemerintahan. Ke depan peran pemerintah di desa akan terus berkurang.
medcom.id, Jakarta: Pencairan dana Rp1,4 miliar ke desa yang dilakukan dalam tiga tahap mulai April 2015, dinilai dapat menjadi momentum percepatan pemberantasan kemiskinan kaum perempuan di desa-desa. Pencairan dana tersebut merupakan implementasi dari UU No 6 tahun 2014 tentang Desa (UU Desa) yang baru saja disahkan.
“Ini adalah momentum bagi percepatan pemberdayaan perempuan. Sebabnya kebanyakan perempuan miskin di Indonesia tinggal di desa-desa,” ujar Sekretaris Jenderal Koalisi Perempuan Indonesia untuk Keadilan dan Demokrasi, Dian Kartikasari, di Jakarta, Selasa (6/1/2015).
Hadirnya dana tersebut, lanjut Dian, dapat menjadi pintu masuk dari dijalankannya pasal 14 Convention of Ellimination of All Forms of Discrimination Against Women (CEDAW), yang mengamanatkan agar perempuan pedesaan mendapatkan akses pendidikan, kesehatan, partisipasi perempuan dalam organisasi masyarakat, dan akses perempuan untuk kehidupan yang layak.
Dian menegaskan, bahwa dari sekitar 28 juta orang miskin di Indonesia yang ada pada saat ini, 63 persen tinggal di pedesaan. Dari 63 persen itu kebanyakan yang miskin adalah perempuan. Dia mengatakan, selain miskin, banyak perempuan desa yang menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga, perdagangan manusia, eksploitasi oleh keluarganya sendiri dan sebagainya.
“Di sejumlah desa, banyak anak perempuan dipaksa nikah dini oleh keluarga. Di Indramayu, misalnya, hampir 50 persen perempuannya tidak bisa baca-tulis lantaran pendidikan dianggap tidak bermanfaat bagi perempuan,” papar Dian.
Pasalnya di dalam adat istiadat yang tidak tertulis, bila dalam suatu keluarga terjadi kelaparan dan kemiskinan, anggota keluarga yang paling berat menanggungnya adalah ibu rumah tangga. Sang ibu biasanya lebih merelakan porsi makanan besar untuk suami dan anak-anak mereka. Terkadang sang ibu harus mengambil air dari sumber mata air yang jauh dan sebagainya.
Pada kesempatan itu, Dian juga mengkritik Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPP-PA) yang tidak pro aktif dalam proses penyusunan RUU Desa yang baru saja disahkan. Walhasil UU Desa dinilai belum memenuhi harapan dari pengarusutamaan gender.
Padahal banyak manfaat bagi perempuan di desa jika KPP-PA sejak awal ikut membahas RUU tersebut. Oleh karena itu, ke depan dengan cairnya dana desa, KPP-PA, lembaga sosial perempuan, aktivis perempuan dan sebagainya, wajib mengawal dan mengarahkan agar dana yang turun juga memiliki alokasi pada pemberdayaan ekonomi perempuan desa.
“Dana itu bisa dipakai untuk memperluas akses informasi usaha bagi perempuan,” tambah dia.
Selain di bidang ekonomi, dana tersebut juga bisa dipakai untuk pelatihan perempuan di bidang organisasi dan politik. Diharapkan ke depan semakin banyak perempuan desa yang menjadi kepala desa, duduk di Badan Musyawarah Desa dan sebagainya.
Dengan semakin banyaknya perempuan yang duduk di pemerintahan desa, niscaya praktik adat istiadat yang mendiskiminasikan perempuan bisa diluruskan.
Lebih jauh dia mengatakan, agar polemik pengelolaan dana desa yang diperebutkan oleh Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi dengan Kementerian Dalam Negeri tidak perlu diperpanjang. Pasalnya, hal itu akan menghambat pencairan dana tersebut.
Hal senada juga disampaikan oleh guru besar IPDN Sadi Wasisdiono. Menurutnya, yang menjadi wewenang Kemendagri dalam mengelola desa adalah di bidang pemerintahan, seperti inventarisasi desa, pemilihan kepala desa, pembentukan desa baru dan sebagainya. Sedangkan peran pemberdayaan diberikan pada kementerian yang khusus menangani soal pedesaan.
“Desa itu sejatinya adalah komunitas dan bukan otonomi pemerintahan. Ke depan peran pemerintah di desa akan terus berkurang.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(LAL)