Jakarta: Ambang batas parlemen yang diatur dalam revisi Undang-Undang (UU) Pemilu dinilai tidak proporsional. Aturan itu dianggap bakal berbuntut pada jumlah suara yang terbuang atau tidak terkonversi menjadi kursi.
"Suara terbuang adalah total jumlah suara sah pemilih yang diberikan kepada partai politik yang tidak bisa diikutakan perolehan kursi," kata Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggaraini dalam diskusi virtual, Kamis, 25 Juni 2020.
Perubahan ambang batas parlemen yang tertuang dalam draf revisi UU Pemilu masih dibahas pemerintah dan DPR. Pada Pasal 217 disebutkan partai politik peserta pemilu anggota DPR harus memenuhi ambang batas perolehan suara paling sedikit tujuh persen dari jumlah suara sah secara nasional.
Angka tersebut melonjak dibandingkan Pemilu 2019 yang mengatur besaran ambang batas parlemen menjadi empat persen. Pada Pemilu 2019 hanya 9 dari 16 partai yang memenuhi syarat tersebut.
Baca: Pemberian Hak Pilih TNI-Polri Bakal Picu Kontroversi
Titi menilai ambang batas tujuh persen berpotensi memicu konflik pada hasil pemilu yang tidak mewakili pilihan politik masyarakat, sehingga memunculkan praktik politik uang. "Ambang batas tinggi dapat menyebabakan politik transaksional," ucap dia.
Dampak terburuk tidak ada lagi panggung bagi kalangan minoritas untuk berkompetisi dalam pesta demokrasi. Terutama perempuan yang paling terdampak.
"Contohnya Pemilu 2019, Partai Solidaritas Indonesia (tidak lolos) Grace Natalie dan Tsamara Amany," ucapnya.
Titi meminta ambang batas parlemen dapat dihitung secara akademis. Perludem menyarankan ambang batas parlemen hanya satu persen.
"Untuk menjaga proporsional pemilu satu persen itu sudah cukup," tegas dia.
Jakarta: Ambang batas parlemen yang diatur dalam revisi Undang-Undang (UU) Pemilu dinilai tidak proporsional. Aturan itu dianggap bakal berbuntut pada jumlah suara yang terbuang atau tidak terkonversi menjadi kursi.
"Suara terbuang adalah total jumlah suara sah pemilih yang diberikan kepada partai politik yang tidak bisa diikutakan perolehan kursi," kata Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggaraini dalam diskusi virtual, Kamis, 25 Juni 2020.
Perubahan ambang batas parlemen yang tertuang dalam draf revisi UU Pemilu masih dibahas pemerintah dan DPR. Pada Pasal 217 disebutkan partai politik peserta pemilu anggota DPR harus memenuhi ambang batas perolehan suara paling sedikit tujuh persen dari jumlah suara sah secara nasional.
Angka tersebut melonjak dibandingkan Pemilu 2019 yang mengatur besaran ambang batas parlemen menjadi empat persen. Pada Pemilu 2019 hanya 9 dari 16 partai yang memenuhi syarat tersebut.
Baca:
Pemberian Hak Pilih TNI-Polri Bakal Picu Kontroversi
Titi menilai ambang batas tujuh persen berpotensi memicu konflik pada hasil pemilu yang tidak mewakili pilihan politik masyarakat, sehingga memunculkan praktik politik uang. "Ambang batas tinggi dapat menyebabakan politik transaksional," ucap dia.
Dampak terburuk tidak ada lagi panggung bagi kalangan minoritas untuk berkompetisi dalam pesta demokrasi. Terutama perempuan yang paling terdampak.
"Contohnya Pemilu 2019, Partai Solidaritas Indonesia (tidak lolos) Grace Natalie dan Tsamara Amany," ucapnya.
Titi meminta ambang batas parlemen dapat dihitung secara akademis. Perludem menyarankan ambang batas parlemen hanya satu persen.
"Untuk menjaga proporsional pemilu satu persen itu sudah cukup," tegas dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(JMS)