Mahyudin saat sosialisasi Empat Pilar di Aceh. Foto: Humas MPR
Mahyudin saat sosialisasi Empat Pilar di Aceh. Foto: Humas MPR

Dahulu, Hafal P-4 Syarat Masuk Universitas

Anggi Tondi Martaon • 27 Oktober 2017 12:58
medcom.id, Jakarta: Di era Orde Baru, sosialisasi Empat Pilar ini bernama Penataran Penghayatan dan Pedoman Pancasila (P-4). Hafal p-4 pola 100 jam salah satu syarat masuk universitas saat itu.
 
Hal tersebut disampaikan Wakil Ketua MPR Mahyudin saat membuka sosialisasi Empat Pilar di aula Universitas Muhammadiyah Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT). Acara ini diselenggarakan Pimpinan Pemuda Muhammadiyah Kupang bekerja sama dengan Setjen MPR
 
Lebih dari 400 peserta yang sebagian besar pemuda Muhammadiyah dan dosen Universitas Muhammadiyah Kupang mengikuti sosialisasi. Narasumber sosialisasi kali ini adalah anggota MPR Zulfadli dan Abraham Liyanto.

Dalam kesempatan itu juga hadir Rektor Universitas Muhammadiyah Kupang Hadi Sandi Haryanto, pejabat yang mewakili Gubernur NTT, serta pimpinan Muhammadiyah Kupang.
 
"Dahulu, untuk masuk universitas syaratnya harus lulus P-4 pola 100 jam, yang kalau dihitung memakan waktu dua pekan. Habis penataran dievaluasi, dan  kalau tidak lulus harus mengulang lagi. Di era reformasi terjadi perubahan, BP-7 dibubarkan, dan tak ada lagi P-4," kata Mahyudin, Jumat 27 Oktober 2017.
 
Menurut Mahyudin, setelah Pemerintahan Orde Baru turun terjadi semacam trauma. Muncul anggapan Pancasila menjadi alat kekuasaan, dan sangat terasa setelah peristiwa pemberontakan  G-30-S/PKI, di mana banyak jenderal menjadi korban. Karena itu, setiap 1 Oktober diperingati sebagai Hari Kesaktian Pancasila.
 
"Sejak itu pula Pancasila harus ditanamkan di jiwa setiap bangsa dalam bentuk doktrin. Waktu itu, orang bisa ditangkap karena dianggap tidak Pancasilais, dan inilah yang menyebabkan terjadinya trauma," ujar dia.
 
Mahyudin lalu menceritakan kembali sejarah lahirnya Pancasila. Dimulai dari pidato Presiden Soekarno pada 1 Juni 1945 di depan sidang BPUPKI yang kemudian ditetapkan sebagai Hari Lahirnya Pancasila. Untuk menyusun dan menyempurnakan konsep Pancasila 1 Juni itu, BPUPKI membentuk Panitia Sembilan, yang kemudian melahirkan Piagam Jakarta.  
 
Selanjutnya, Pancasila hasil rumusan Panitia Sembilan yang dipimpin Bung Karno dengan anggota 27 orang itu dibahas dalam sidang PPKI.
 
Pembahasan Pancasila, baik di BPUPKI maupun di PPKI, melibatkan tokoh Muhammadiyah. Tokoh Muhammadiyah di BPUPKI adalah Abdul Kahar Muzakir, sedangkan di PPKI terdapat nama Ki Bagus Hadikoesoemo.
 
"Terjadi perdebatan panjang dan sangat alot, terutama ketika membahas mengenai sila pertama Pancasila hasil Piagam Jakarta. Tapi, dengan sikap sedia berkorban, tujuh kata Piagam Jakarta dihilangkan, hingga berbunyi: Ketuhanan Yang Maha Esa," tuturnya.
 
Berdasarkan bukti sejarah tersebut, Mahyudin menilai bahwa Pancasila, seperti yang tercantum dalam Pembukaan UUD NRI Tahun 1945, tidak bisa diutak-atik lagi. Terlebih ketika terjadi amandemen UUD 1945 pada 1999 hingga 2002, telah disepakati tidak akan mengubah Pembukaan UUD NRI Tahun 1945 dan NKRI sebagai bentuk negara.
 
"Oleh karena itu, dengan Pancasila kita jangan mau diadu-domba. Kalau kita mau diadu-domba maka  tak tertutup kemungkinan kita akan dijajah kembali," tegas Mahyudin.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(TRK)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan