medcom.id, Jakarta: Pembentukan komite etik di lemabaga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dinilai sangat mendesak. Karena komite itu akan mengungkap semua kebenaran dan menghilangkan semua rumor negatif yang beredar di masyarakat.
Anggota Komisi III dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Arsul Sani, mengatakan, pembentukan komite etik, tak serta merta menyalahkan pimpinan KPK bersalah atau melanggar kode etik. Komite Etik akan menjadi jalan keluar untuk membuktikan apakah pimpinan KPK melanggar atau tidak.
“Jika KPK tidak pro aktif, akan menimbulkan kesan melindungi. Selain itu, akan muncul kesan siapapun yang mengkritisi KPK diarahkan kepada lembaga dan pro korupsi, Padahal, ini jelas harus dibedakan, antara oknum KPK dengan lembaga itu berbeda,” kata Asrul, Senin (2/2/2015).
Dia menegaskan, pengawasan internal KPK harusnya pro aktif. KPK tidak boleh memperlakukan dugaan pelanggaran kode etik sebagai delik biasa yang baru diproses setelah ada aduan resmi. "Masalah ini mendapat perhatian masyarakat luas, sudah saatnya dibentuk pengawasan internal dan pimpinan KPK inisiatif untuk membentuk komite etik," ujarnya.
Arsul menjelaskan, dalam kode etik, tak ada ketentuan yang mengharuskan Komite Etik dibentuk atau diinisiasi setelah ada pengaduan resmi. Arsul meyakini pengawas internal KPK merupakan orang-orang yang menganut hukum progresif. “Artinya tidak konvensional, tidak menunggu pengaduan, bisa mengambil inisiatif. Ini justru akan membersihkan atau mengembalikan kredibilitas yang selama ini dipertanyakan," katanya.
Menurutnya, komite etik bisa diisi oleh anggota internal ataupun luar KPK. "Saya kira Komite Etik sudah beberapa kali dibentuk KPK. Dalam kasus sebelumnya, pasti ada perwakilan dari dalam dan luar KPK," ujarnya.
medcom.id, Jakarta: Pembentukan komite etik di lemabaga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dinilai sangat mendesak. Karena komite itu akan mengungkap semua kebenaran dan menghilangkan semua rumor negatif yang beredar di masyarakat.
Anggota Komisi III dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Arsul Sani, mengatakan, pembentukan komite etik, tak serta merta menyalahkan pimpinan KPK bersalah atau melanggar kode etik. Komite Etik akan menjadi jalan keluar untuk membuktikan apakah pimpinan KPK melanggar atau tidak.
“Jika KPK tidak pro aktif, akan menimbulkan kesan melindungi. Selain itu, akan muncul kesan siapapun yang mengkritisi KPK diarahkan kepada lembaga dan pro korupsi, Padahal, ini jelas harus dibedakan, antara oknum KPK dengan lembaga itu berbeda,” kata Asrul, Senin (2/2/2015).
Dia menegaskan, pengawasan internal KPK harusnya pro aktif. KPK tidak boleh memperlakukan dugaan pelanggaran kode etik sebagai delik biasa yang baru diproses setelah ada aduan resmi. "Masalah ini mendapat perhatian masyarakat luas, sudah saatnya dibentuk pengawasan internal dan pimpinan KPK inisiatif untuk membentuk komite etik," ujarnya.
Arsul menjelaskan, dalam kode etik, tak ada ketentuan yang mengharuskan Komite Etik dibentuk atau diinisiasi setelah ada pengaduan resmi. Arsul meyakini pengawas internal KPK merupakan orang-orang yang menganut hukum progresif. “Artinya tidak konvensional, tidak menunggu pengaduan, bisa mengambil inisiatif. Ini justru akan membersihkan atau mengembalikan kredibilitas yang selama ini dipertanyakan," katanya.
Menurutnya, komite etik bisa diisi oleh anggota internal ataupun luar KPK. "Saya kira Komite Etik sudah beberapa kali dibentuk KPK. Dalam kasus sebelumnya, pasti ada perwakilan dari dalam dan luar KPK," ujarnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id(FZN)