Jakarta: Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini menyebut hoaks surat suara tercoblos memicu sikap apatis. Belajar dari sejumlah negara, fitnah dan kabar bohong dapat membuat orang tidak percaya lagi dengan proses pemilu.
"Terpenting dari pemilu itu kepercayaan publik dan legitimasi. Kalau ada pihak yang semakin brutal menyampaikan fitnah bukan tidak mungkin mereka memboikot proses pemilu bukan lagi hasilnya yang artinya tidak usah lagi hadir di TPS (tempat pemungutan suara)," ujarnya dalam Prime Talk Metro TV, Kamis, 3 Januari 2018.
Menurut Titi masifnya hoaks berdampak pada delegitimasi pemerintahan. Produk pemerintahan hasil pemilu akan dipersoalkan terus menerus jika hoaks dan kabar bohong dibiarkan.
Yang paling menyedihkan, kata dia, kredibilitas Indonesia di mata dunia sebagai negara demokrasi tidak lagi diakui. Padahal jika bicara demokrasi, banyak negara melirik Indonesia sebagai referensi praktik demokrasi global.
"Peristiwa ini bukan hanya ancaman bagi KPU (Komisi Pemilihan Umum) tetapi ancaman perjalanan demokrasi kita yang sudah mengalami progres luarbiasa. Isu ini memperlihatkan betapa mundurnya diskursus politik kita," ungkapnya.
Sebelumnya, beredar kabar ada tujuh kontainer masing-masing berisi 10 juta surat suara tercoblos untuk Joko Widodo-Ma'ruf Amin. Kabar bohong itu tersiar melalui rekaman suara di media sosial serta melalui tulisan pesan berantai.
Kondisi semakin panas setelah Wakil Sekretaris Jenderal Partai Demokrat Andi Arief mencuitkan kabar tersebut melalui akun Twitter pribadinya @AndiArief_. "Mohon dicek kabarnya ada 7 kontainer surat suara yang sudah dicoblos di Tanjung Priok. Supaya tidak fitnah harap dicek kebenarannya karena ini kabar sudah beredar."
Andi mencuitkan kabar bohong itu sekitar pukul 20.05 WIB, Rabu, 2 Januari 2019. Belakangan, Andi diketahui menghapus cuitan itu.
Jakarta: Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini menyebut hoaks surat suara tercoblos memicu sikap apatis. Belajar dari sejumlah negara, fitnah dan kabar bohong dapat membuat orang tidak percaya lagi dengan proses pemilu.
"Terpenting dari pemilu itu kepercayaan publik dan legitimasi. Kalau ada pihak yang semakin brutal menyampaikan fitnah bukan tidak mungkin mereka memboikot proses pemilu bukan lagi hasilnya yang artinya tidak usah lagi hadir di TPS (tempat pemungutan suara)," ujarnya dalam
Prime Talk Metro TV, Kamis, 3 Januari 2018.
Menurut Titi masifnya hoaks berdampak pada delegitimasi pemerintahan. Produk pemerintahan hasil pemilu akan dipersoalkan terus menerus jika hoaks dan kabar bohong dibiarkan.
Yang paling menyedihkan, kata dia, kredibilitas Indonesia di mata dunia sebagai negara demokrasi tidak lagi diakui. Padahal jika bicara demokrasi, banyak negara melirik Indonesia sebagai referensi praktik demokrasi global.
"Peristiwa ini bukan hanya ancaman bagi KPU (Komisi Pemilihan Umum) tetapi ancaman perjalanan demokrasi kita yang sudah mengalami progres luarbiasa. Isu ini memperlihatkan betapa mundurnya diskursus politik kita," ungkapnya.
Sebelumnya, beredar kabar ada tujuh kontainer masing-masing berisi 10 juta surat suara tercoblos untuk Joko Widodo-Ma'ruf Amin. Kabar bohong itu tersiar melalui rekaman suara di media sosial serta melalui tulisan pesan berantai.
Kondisi semakin panas setelah Wakil Sekretaris Jenderal Partai Demokrat Andi Arief mencuitkan kabar tersebut melalui akun Twitter pribadinya @AndiArief_. "Mohon dicek kabarnya ada 7 kontainer surat suara yang sudah dicoblos di Tanjung Priok. Supaya tidak fitnah harap dicek kebenarannya karena ini kabar sudah beredar."
Andi mencuitkan kabar bohong itu sekitar pukul 20.05 WIB, Rabu, 2 Januari 2019. Belakangan, Andi diketahui menghapus cuitan itu.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(MEL)