medcom.id, Jakarta: RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) mengatur hukuman bagi pejabat publik yang melakukan kejahatan seksual. Hukuman tambahan bagi penjahat seksual dari pejabat publik adalah penyitaan harta kekayaan dan pencabutan hak politik.
Ketua Komnas Perempuan Azriana mengatakan pidana tambahan lainnya yang berlaku bagi seluruh pelaku ialah pembatasan ruang gerak. Hukuman ini diperuntukkan bagi kejahatan seksual dalam lingkup rumah tangga.
Lalu, hukuman kerja sosial bagi pelaku kekerasan seksual di bawah umur. Hukuman yang sama juga berlaku dalam kasus kekerasan seksual yang tidak menyentuh atau bersifat ringan.
Penjahat seksual juga akan menerima hukuman berupa pengumuman putusan hakim. "Ini dalam konteks mencegah berulangnya kejahatan seksual, bukan dalam konteks untuk mempermalukan," kata Azriana di Kantor Presiden, Jakarta Pusat, Rabu (8/6/2016).
Komnas Perempuan juga memasukkan beberapa poin dalam pidana pokok. Antara lain penjara dari satu tahun hingga seumur hidup, rehabilitasi untuk pelaku dalam kasus kekerasan tertentu, dan restitusi.
RUU PKS fokus pada pemberatan hukuman dan pencegahan. Komnas Perempuan berharap, bila RUU PKS sudah disahkan bisa mencegah kekerasan seksual.
Pemulihan Korban
RUU PKS juga mengatur pemulihan korban. Hal ini, menurut Azriana, tidak diatur dalam undang-undang yang lain.
"Ada ruang bagi korban untuk dipastikan pemulihannya. Ketika dia diatur dalam regulasi, pemerintah akan ada upaya memastikan pemulihan itu berjalan," jelas Azriana.
Restitusi dalam pidana pokok juga diharapkan bisa menjadi putusan pengadilan, sehingga eksekusinya bisa dipastikan. Namun, rinciannya akan muncul dalam peraturan pemerintah yang bisa memuat hal-hal operasional.
"Dalam hal ini, restitusi itu ganti rugi dari pelaku," ujar Azriana.
Dari 15 jenis kekerasan seksual sejak 1998 hingga 2015, Komnas Perempuan menyarikannya menjadi delapan jenis, yakni pelecehan seksual, eksploitasi seksual, perkosaan, pemaksaan perkawinan, sterilisasi paksa, perbudakan seksual, penyiksaan seksual, dan pelacuran paksa.
"Tidak seluruhnya dari 15 itu harus ditangani lewat proses hukum. Ada kekerasan seksual jenis tertentu yang dibutuhkan ialah mengedukasi masyarakat. Contohnya, sunat perempuan," ujar Azriana.
Sunat perempuan harus melalui pendekatan edukasi karena itu masih menjadi kepercayaan beberapa masyarakat. Bahkan, argumentasi yang dikaitkan dengan agama masih digunakan dalam kasus ini.
Pihak berwenang harus bekerja perlahan karena mengubah pola pikir masyarakat bukan lah perkara mudah.
medcom.id, Jakarta: RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) mengatur hukuman bagi pejabat publik yang melakukan kejahatan seksual. Hukuman tambahan bagi penjahat seksual dari pejabat publik adalah penyitaan harta kekayaan dan pencabutan hak politik.
Ketua Komnas Perempuan Azriana mengatakan pidana tambahan lainnya yang berlaku bagi seluruh pelaku ialah pembatasan ruang gerak. Hukuman ini diperuntukkan bagi kejahatan seksual dalam lingkup rumah tangga.
Lalu, hukuman kerja sosial bagi pelaku kekerasan seksual di bawah umur. Hukuman yang sama juga berlaku dalam kasus kekerasan seksual yang tidak menyentuh atau bersifat ringan.
Penjahat seksual juga akan menerima hukuman berupa pengumuman putusan hakim. "Ini dalam konteks mencegah berulangnya kejahatan seksual, bukan dalam konteks untuk mempermalukan," kata Azriana di Kantor Presiden, Jakarta Pusat, Rabu (8/6/2016).
Komnas Perempuan juga memasukkan beberapa poin dalam pidana pokok. Antara lain penjara dari satu tahun hingga seumur hidup, rehabilitasi untuk pelaku dalam kasus kekerasan tertentu, dan restitusi.
RUU PKS fokus pada pemberatan hukuman dan pencegahan. Komnas Perempuan berharap, bila RUU PKS sudah disahkan bisa mencegah kekerasan seksual.
Pemulihan Korban
RUU PKS juga mengatur pemulihan korban. Hal ini, menurut Azriana, tidak diatur dalam undang-undang yang lain.
"Ada ruang bagi korban untuk dipastikan pemulihannya. Ketika dia diatur dalam regulasi, pemerintah akan ada upaya memastikan pemulihan itu berjalan," jelas Azriana.
Restitusi dalam pidana pokok juga diharapkan bisa menjadi putusan pengadilan, sehingga eksekusinya bisa dipastikan. Namun, rinciannya akan muncul dalam peraturan pemerintah yang bisa memuat hal-hal operasional.
"Dalam hal ini, restitusi itu ganti rugi dari pelaku," ujar Azriana.
Dari 15 jenis kekerasan seksual sejak 1998 hingga 2015, Komnas Perempuan menyarikannya menjadi delapan jenis, yakni pelecehan seksual, eksploitasi seksual, perkosaan, pemaksaan perkawinan, sterilisasi paksa, perbudakan seksual, penyiksaan seksual, dan pelacuran paksa.
"Tidak seluruhnya dari 15 itu harus ditangani lewat proses hukum. Ada kekerasan seksual jenis tertentu yang dibutuhkan ialah mengedukasi masyarakat. Contohnya, sunat perempuan," ujar Azriana.
Sunat perempuan harus melalui pendekatan edukasi karena itu masih menjadi kepercayaan beberapa masyarakat. Bahkan, argumentasi yang dikaitkan dengan agama masih digunakan dalam kasus ini.
Pihak berwenang harus bekerja perlahan karena mengubah pola pikir masyarakat bukan lah perkara mudah.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(TRK)