Jakarta: Pemerintah masih berhati-hati dalam memutuskan penyesuaian harga Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubdisi. Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden (KSP) Edy Priyono menjelaskan ada tiga hal yang diperhatikan pemerintah sebelum mengumumkan kebijakan tersebut.
"Paling tidak ada tiga yang selalu menjadi pertimbangan pemerintah. Pertama, daya beli masyarakat. Pemerintah ingin supaya daya beli masyarakat tidak terlalu terganggu," ujar Edy ketika dihubungi, Jumat, 2 September 2022.
Edy menjelaskan apabila harga BBM bersubsidi naik, pasti akan berdampak pada harga barang lain. Oleh karena itu, pemerintah mempertimbangkan berapa besar dampak tersebut pada daya beli masyarakat.
Untuk memitigasi atau meminimalkan dampak tersebut, Edy mengatakan pemerintah telah memutuskan mempertebal bantuan sosial untuk masyarakat menengah ke bawah.
Pertimbangan kedua, kata dia, keuangan negara. Selama ini, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) menanggung beban cukup besar untuk anggaran subsidi dan kompensasi energi khususnya BBM. Berdasarkan keterangan Menteri Keuangan Sri Mulyani, papar Edy, anggaran untuk subdisi dan kompensasi energi sekitar 16,2 persen dari total belanja atau senilai Rp502,4 triliun.
"Itu membebani APBN yang merupakan uang rakyat. Ini yang harus dijaga. Anggaran untuk subdisi dan kompensasi energi sekitar 16 persen dari total belanja. Jika dibandingkan dengan anggaran untuk gaji pegawai hanya sekitar 14 persen atau anggaran kesehatan sebesar 5 persen dari total belanja," papar Edy.
Pertimbangan ketiga, sambung Edy, kesehatan keuangan dari badan usaha dalam hal ini PT Pertamina. Ia mencontohkan harga jual BBM bersubsidi untuk jenis Pertalite yang ditetapkan pemerintah sebesar Rp7.650 per liter. Padahal harga keekonomiannya di atas harga tersebut (sekitar Rp 17.100 per liter).
"Pertamina merugi jika dijual dengan harga yang ditetapkan pemerintah, sehingga pemerintah menutupnya melalui subdisi atau kompensasi," terang Edy.
Edy menjelaskan menyeimbangkan tiga pertimbangan tersebut tidak mudah. Pemerintah perlu melakukan analisis agar keputusan tersebut tepat. Presiden Joko Widodo yang pada akhirnya akan memutuskan. Namun, ia mengakui tidak mengetahui keputusan apa yang akan diambil serta kapan hal itu akan disampaikan kepada publik.
"Terus terang kami belum tahu," ucap dia.
Edy menyebut ada opsi yang juga tengah dipertimbangkan pemerintah, yakni pembatasan pembelian BBM bersubsidi. Meski dia menegaskan belum tentu opsi kebijakan tersebut akan diambil.
Pertamina sebelumnya telah menerapkan pendataan melalui aplikasi My Pertamina bagi masyarakat yang akan membeli BBM bersubsidi jenis Pertalite, harus yang telah terdaftar dalam basis data Pertamina. Edy mengatakan kendaraan umum semestinya masuk dalam kelompok yang dapat membeli BBM bersubsidi. Namun, untuk kendaraan pribadi, opsi pembatasan dapat dilakukan seperti berdasarkan spesifikasi misalnya kendaraan kriteria mesin dengan cubicle sentimeter (cc).
"Itu masuk dalam pembahasan menjadi salah satu pilihan. Tapi belum tentu akan diambil," ucap Edy.
Jakarta: Pemerintah masih berhati-hati dalam memutuskan penyesuaian harga Bahan Bakar Minyak (BBM)
bersubdisi. Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden (KSP) Edy Priyono menjelaskan ada tiga hal yang diperhatikan pemerintah sebelum mengumumkan kebijakan tersebut.
"Paling tidak ada tiga yang selalu menjadi pertimbangan pemerintah. Pertama, daya beli masyarakat. Pemerintah ingin supaya daya beli masyarakat tidak terlalu terganggu," ujar Edy ketika dihubungi, Jumat, 2 September 2022.
Edy menjelaskan apabila
harga BBM bersubsidi naik, pasti akan berdampak pada harga barang lain. Oleh karena itu, pemerintah mempertimbangkan berapa besar dampak tersebut pada daya beli masyarakat.
Untuk memitigasi atau meminimalkan dampak tersebut, Edy mengatakan pemerintah telah memutuskan mempertebal bantuan sosial untuk masyarakat menengah ke bawah.
Pertimbangan kedua, kata dia, keuangan negara. Selama ini, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) menanggung beban cukup besar untuk anggaran subsidi dan kompensasi energi khususnya BBM. Berdasarkan keterangan Menteri Keuangan Sri Mulyani, papar Edy, anggaran untuk subdisi dan kompensasi energi sekitar 16,2 persen dari total belanja atau senilai Rp502,4 triliun.
"Itu membebani APBN yang merupakan uang rakyat. Ini yang harus dijaga. Anggaran untuk subdisi dan kompensasi energi sekitar 16 persen dari total belanja. Jika dibandingkan dengan anggaran untuk gaji pegawai hanya sekitar 14 persen atau anggaran kesehatan sebesar 5 persen dari total belanja," papar Edy.
Pertimbangan ketiga, sambung Edy, kesehatan keuangan dari badan usaha dalam hal ini PT Pertamina. Ia mencontohkan harga jual
BBM bersubsidi untuk jenis Pertalite yang ditetapkan pemerintah sebesar Rp7.650 per liter. Padahal harga keekonomiannya di atas harga tersebut (sekitar Rp 17.100 per liter).
"Pertamina merugi jika dijual dengan harga yang ditetapkan pemerintah, sehingga pemerintah menutupnya melalui subdisi atau kompensasi," terang Edy.
Edy menjelaskan menyeimbangkan tiga pertimbangan tersebut tidak mudah. Pemerintah perlu melakukan analisis agar keputusan tersebut tepat. Presiden Joko Widodo yang pada akhirnya akan memutuskan. Namun, ia mengakui tidak mengetahui keputusan apa yang akan diambil serta kapan hal itu akan disampaikan kepada publik.
"Terus terang kami belum tahu," ucap dia.
Edy menyebut ada opsi yang juga tengah dipertimbangkan pemerintah, yakni pembatasan pembelian BBM bersubsidi. Meski dia menegaskan belum tentu opsi kebijakan tersebut akan diambil.
Pertamina sebelumnya telah menerapkan pendataan melalui aplikasi My Pertamina bagi masyarakat yang akan membeli BBM bersubsidi jenis Pertalite, harus yang telah terdaftar dalam basis data Pertamina. Edy mengatakan kendaraan umum semestinya masuk dalam kelompok yang dapat membeli BBM bersubsidi. Namun, untuk kendaraan pribadi, opsi pembatasan dapat dilakukan seperti berdasarkan spesifikasi misalnya kendaraan kriteria mesin dengan cubicle sentimeter (cc).
"Itu masuk dalam pembahasan menjadi salah satu pilihan. Tapi belum tentu akan diambil," ucap Edy.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(AZF)