Jakarta: Pemegang tongkat komando soal pengamanan laut dianggap belum jelas. Pemerintah diminta memperjelas siapa aktor utama yang menjadi 'nakhoda' pengamanan laut.
"Siapa koordinatornya? Selama ini masih terus saling rebutan," kata anggota Komisi I DPR Sukamta dalam diskusi di Jakarta Selatan, Senin, 13 Januari 2020.
Menurut dia, ada 24 undang-undang (UU) dan dua peraturan pemerintah (PP) yang membahas pengamanan laut. Keamanan laut diurus Korps Kepolisian Perairan dan Udara (Korpolairud), TNI Angkatan Laut (AL), hingga Badan Keamanan Laut (Bakamla).
"Jadi banyak sekali agensi yang mengatur keamanan laut, tetapi tugasnya itu tidak pernah jelas, jadi multiagensi tapi tidak jelas tugasnya," ungkap dia.
Politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu mengharapkan tugas pengamanan laut dirampingkan. Dengan begitu, pengamanan laut Indonesia bisa maksimal.
Dia menilai jika penguatan pengamanan laut diserahkan kepada Bakamla, lembaga itu harus diperkuat. Selama ini, tugas Bakamla masih buram dengan armada yang terbatas.
Isu perairan Natuna, Kepulauan Riau, dapat menjadi momentum pembenahan perundang-undangan tentang keamanan laut. Komisi I pun bakal membahas masalah ini dengan para pemangku kepentingan.
Kementerian Luar Negeri (Kemlu), Kementerian Pertahanan (Kemhan), Bakamla, Badan Intelijen Negara (BIN), dipanggil ke DPR Kamis, 16 Januari 2020. Persoalan teknis soal pengamanan laut akan dibedah.
"Sebab secara teknis statement Bakamla dan TNI AL ada sedikit perbedaan-perbedaan. Kita ingin tahu duduk persoalannya. DPR siap memberikan dukungan politik," jelas dia.
Hubungan diplomatik Indonesia dan Tiongkok memanas beberapa hari terakhir. Kondisi ini disebabkan masuknya sejumlah kapal nelayan Tiongkok perairan utara Natuna pada Senin, 23 Desember 2019.
Kapal itu beroperasi dengan dikawal dua kapal penjaga pantai dan satu kapal perang berukuran sedang milik Tiongkok. Mereka bersikukuh menangkap ikan yang berjarak sekitar 130 mil dari perairan Ranai, Natuna.
Berdasarkan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (UNCLOS) 1982, perairan Natuna wilayah zona ekonomi eksklusif (ZEE) Indonesia. Tiongkok tidak memiliki hak apa pun, tetapi secara sepihak mengeklaim kawasan.
TNI mengerahkan delapan Kapal Republik Indonesia (KRI) untuk berpatroli untuk pengamanan Perairan Natuna. Kapal Tingkok diklaim mulai meninggalkan Natuna Presiden Joko Widodo mengunjungi lokasi, Rabu, 8 Januari 2020.
Jakarta: Pemegang tongkat komando soal pengamanan laut dianggap belum jelas. Pemerintah diminta memperjelas siapa aktor utama yang menjadi 'nakhoda' pengamanan laut.
"Siapa koordinatornya? Selama ini masih terus saling rebutan," kata anggota Komisi I DPR Sukamta dalam diskusi di Jakarta Selatan, Senin, 13 Januari 2020.
Menurut dia, ada 24 undang-undang (UU) dan dua peraturan pemerintah (PP) yang membahas pengamanan laut. Keamanan laut diurus Korps Kepolisian Perairan dan Udara (Korpolairud), TNI Angkatan Laut (AL), hingga Badan Keamanan Laut (Bakamla).
"Jadi banyak sekali agensi yang mengatur keamanan laut, tetapi tugasnya itu tidak pernah jelas, jadi multiagensi tapi tidak jelas tugasnya," ungkap dia.
Politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu mengharapkan tugas pengamanan laut dirampingkan. Dengan begitu, pengamanan laut Indonesia bisa maksimal.
Dia menilai jika penguatan pengamanan laut diserahkan kepada Bakamla, lembaga itu harus diperkuat. Selama ini, tugas Bakamla masih buram dengan armada yang terbatas.
Isu perairan Natuna, Kepulauan Riau, dapat menjadi momentum pembenahan perundang-undangan tentang keamanan laut. Komisi I pun bakal membahas masalah ini dengan para pemangku kepentingan.
Kementerian Luar Negeri (Kemlu), Kementerian Pertahanan (Kemhan), Bakamla, Badan Intelijen Negara (BIN), dipanggil ke DPR Kamis, 16 Januari 2020. Persoalan teknis soal pengamanan laut akan dibedah.
"Sebab secara teknis
statement Bakamla dan TNI AL ada sedikit perbedaan-perbedaan. Kita ingin tahu duduk persoalannya. DPR siap memberikan dukungan politik," jelas dia.
Hubungan diplomatik Indonesia dan Tiongkok memanas beberapa hari terakhir. Kondisi ini disebabkan masuknya sejumlah kapal nelayan Tiongkok perairan utara Natuna pada Senin, 23 Desember 2019.
Kapal itu beroperasi dengan dikawal dua kapal penjaga pantai dan satu kapal perang berukuran sedang milik Tiongkok. Mereka bersikukuh menangkap ikan yang berjarak sekitar 130 mil dari perairan Ranai,
Natuna.
Berdasarkan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (UNCLOS) 1982, perairan Natuna wilayah zona ekonomi eksklusif (ZEE) Indonesia. Tiongkok tidak memiliki hak apa pun, tetapi secara sepihak mengeklaim kawasan.
TNI mengerahkan delapan Kapal Republik Indonesia (KRI) untuk berpatroli untuk pengamanan Perairan Natuna. Kapal Tingkok diklaim mulai meninggalkan Natuna Presiden Joko Widodo mengunjungi lokasi, Rabu, 8 Januari 2020.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(OGI)