Jakarta: Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat meminta Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran direvisi. Perombakan aturan dianggap penting untuk memperkuat fungsi pengawasan yang berpacu dengan perkembangan teknologi.
Komisioner KPI Pusat Yuliandre Darwis, menyebut pihaknya tak punya kewenangan menindak media baru dalam UU tersebut. Menurut dia, tidak adil jika pengawasan pada media penyiaran dilakukan ketat dan berbeda.
"Sedangkan media baru yang belum ada payung hukum justru bebas bergerak tanpa pengawasan. Apalagi sudah banyak negara yang masuk ke media baru,” kata Andre seperti dikutip dari Antara, Kamis, 11 Juni 2020.
UU Penyiaran yang telah berusia 18 tahun dinilai sangat tertinggal dengan kemajuan teknologi serta berkembangnya media baru pada saat ini.
Baca: KPI: Metro TV Penebar Inspirasi
Karena itu, ia menekankan pentingnya pembahasan sesegera mungkin revisi UU tersebut oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan kemudian mensahkannya menjadi UU baru sebagai solusi untuk dapat mengejar ketertinggalan tersebut.
Andre menegaskan KPI siap melakukan pengawasan terhadap media baru jika diamanahkan dalam UU Penyiaran baru nanti. Selain terlebih dahulu diberi penguatan pada kelembagaan KPI dan KPID secara sistematis, utuh dan tegas.
Menteri Komunikasi dan Informatika Johhny G Plate mendukung dorongan revisi dan pengesahan UU Penyiaran baru. Menurut dia, perombakan beleid perlu dipercepat untuk mendorong percepatan digitalisasi di Indonesia.
"Digital itu harus karena untuk kepentingan bangsa dan negara," katanya.
Anggota Komisi I DPR Utut Adianto mengatakan revisi UU Penyiaran memang diperlukan. Sebab substansi RUU akan sangat berkaitan dengan hal yang bermanfaat bagi berbagai pihak.
"Akan adanya perlindungan hukum bagi pelaku industri dan juga masyarakat. RUU ini harus membuat dan menumbuhkan lapangan kerja baru," katanya.
Sementara itu, anggota Komisi I DPR lainnya, Dave Laksono, menegaskan pentingnya penguatan kelembagaan KPI dalam RUU Penyiaran, serta memandang perlu adanya pajak untuk platform digital.
Jakarta: Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat meminta Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran direvisi. Perombakan aturan dianggap penting untuk memperkuat fungsi pengawasan yang berpacu dengan perkembangan teknologi.
Komisioner KPI Pusat Yuliandre Darwis, menyebut pihaknya tak punya kewenangan menindak media baru dalam UU tersebut. Menurut dia, tidak adil jika pengawasan pada media penyiaran dilakukan ketat dan berbeda.
"Sedangkan media baru yang belum ada payung hukum justru bebas bergerak tanpa pengawasan. Apalagi sudah banyak negara yang masuk ke media baru,” kata Andre seperti dikutip dari
Antara, Kamis, 11 Juni 2020.
UU Penyiaran yang telah berusia 18 tahun dinilai sangat tertinggal dengan kemajuan teknologi serta berkembangnya media baru pada saat ini.
Baca: KPI: Metro TV Penebar Inspirasi
Karena itu, ia menekankan pentingnya pembahasan sesegera mungkin revisi UU tersebut oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan kemudian mensahkannya menjadi UU baru sebagai solusi untuk dapat mengejar ketertinggalan tersebut.
Andre menegaskan KPI siap melakukan pengawasan terhadap media baru jika diamanahkan dalam UU Penyiaran baru nanti. Selain terlebih dahulu diberi penguatan pada kelembagaan KPI dan KPID secara sistematis, utuh dan tegas.
Menteri Komunikasi dan Informatika Johhny G Plate mendukung dorongan revisi dan pengesahan UU Penyiaran baru. Menurut dia, perombakan beleid perlu dipercepat untuk mendorong percepatan digitalisasi di Indonesia.
"Digital itu harus karena untuk kepentingan bangsa dan negara," katanya.
Anggota Komisi I DPR Utut Adianto mengatakan revisi UU Penyiaran memang diperlukan. Sebab substansi RUU akan sangat berkaitan dengan hal yang bermanfaat bagi berbagai pihak.
"Akan adanya perlindungan hukum bagi pelaku industri dan juga masyarakat. RUU ini harus membuat dan menumbuhkan lapangan kerja baru," katanya.
Sementara itu, anggota Komisi I DPR lainnya, Dave Laksono, menegaskan pentingnya penguatan kelembagaan KPI dalam RUU Penyiaran, serta memandang perlu adanya pajak untuk platform digital.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(ADN)