Jakarta: Sikap saling menghargai perbedaan seharusnya tidak menjadi barang aneh di sekolah. Pelajaran ini harus selalu diulang.
Intoleransi di dunia pendidikan ibarat api di dalam sekam. Tidak mudah padam dan cepat sekali meruyak apabila ada pemicunya. Hal ini mengkhawatirkan bagi banyak kalangan tidak terkecuali para orangtua.
Oleh karena itu, imbauan Presiden Joko Widodo di Hari Guru Nasional dan HUT Ke-72 PGRI, Sabtu 2 Desember 2017 yang menyiratkan bahwa pendidik jangan pernah lelah menyemaikan kebinekaan terhadap para siswa memiliki momen yang pas.
"Guru tidak tergantikan karena dia mengemban tugas menyadarkan jiwa anak didik. Pendidikan siswa tidak bisa diberikan oleh media sosial. Tugas guru mendidik murid agar memiliki jiwa yang sehat, matang, dan memahami Bhinneka Tunggal Ika. Peringatan Hari Guru Nasional ini harus menjadi momentum," kata Presiden di Stadion Patriot Candrabhaga, Bekasi.
Sebelumnya, Ketua Umum Pengurus Besar PGRI Unifah Rosyidi mengatakan pemerintah masih berupaya memperbaiki kesejahteraan pendidik. Akan tetapi, para guru merupakan sosok yang inspiratif dan menjadi contoh dalam merawat kebinekaan serta menghindari cara pandang yang mengarah pada radikalisme.
"Untuk itu, saya sampaikan penghargaan dan apresiasi yang tinggi kepada seluruh guru di Tanah Air. Guru-guru yang berada di desa-desa, di pulau-pulau terpencil, pulau terluar, dan di perbatasan," ujar Presiden yang mengawali sambutannya dengan membungkukkan badan di depan puluhan ribu guru yang hadir di stadion.
Sebagai gambaran bagaimana intoleransi yang menafikan kebinekaan itu sudah merasuki murid-murid di sekolah. Wahid Foundation dan Lembaga Survei Indonesia pada 30 Maret-9 April 2006 melakukan survei terhadap 1.520 responden berusia 17 tahun di 34 provinsi.
Hasilnya, sebanyak 59,9 persen responden mempunyai kelompok yang dibenci, yakni mereka yang berlatar belakang nonmuslim, kelompok Tionghoa, dan komunis. Dari responden 59,9 persen tersebut, sekitar 90 persen tidak menyetujui apabila anggota kelompok yang mereka benci menjadi pejabat pemerintah.
Peneliti dari Setara Institute, Halili, mengungkapkan pandangannya yang tidak jauh berbeda. Dia mengakui sikap intoleransi pelajar dalam beberapa waktu terakhir menunjukkan gejala menguat di beberapa kota.
"Dalam lima tahun terakhir ditemukan adanya penguatan identitas primordial, termasuk keagamaan. Contohnya, ada beberapa sekolah negeri menjadikan agama tertentu sebagai referensi pengambilan kebijakan," kata Halili.
Saat menanggapi semua itu, seorang guru MTs At-Tawakkal di Cilaku, Cianjur, Ira Marina, mengingatkan bahwa Indonesia tercipta dalam segala keberagamannya.
"Itu harus kita hargai. Kita saling melengkapi satu sama lain. Nilai-nilai itu saya sampaikan kepada murid bahwa menjadi bagian dari bangsa ini harus menjunjung tinggi toleransi," ungkap guru berusia sekitar 30 tahun itu.
Nur Wahyuni, siswa SMK Global Prima Islamic School, Bekasi, pun bersikap serupa bahwa guru harus memiliki semangat dalam menyampaikan kepada murid tentang arti kebinekaan dan menjunjung tinggi hak orang lain. Seperti halnya Wulan Triyani, murid SMAN 6 Depok.
"Sebagai anutan siswa, guru mesti sudah selesai dengan persoalan ini. Dia menanamkan toleransi," tutur Nur.
Terkait sikap saling menghargai keberagaman di sekolah, Mendikbud Muhadjir Effendy mengimbau para guru untuk memberikan contoh sesuai UU RI No 20/2013 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yaitu menyampaikan pencerahan kepada siswa tentang keindonesiaan yang mengedepankan Pancasila sehingga tidak ada tindakan intoleran di sekolah di mana pun.
Jakarta: Sikap saling menghargai perbedaan seharusnya tidak menjadi barang aneh di sekolah. Pelajaran ini harus selalu diulang.
Intoleransi di dunia pendidikan ibarat api di dalam sekam. Tidak mudah padam dan cepat sekali meruyak apabila ada pemicunya. Hal ini mengkhawatirkan bagi banyak kalangan tidak terkecuali para orangtua.
Oleh karena itu, imbauan Presiden Joko Widodo di Hari Guru Nasional dan HUT Ke-72 PGRI, Sabtu 2 Desember 2017 yang menyiratkan bahwa pendidik jangan pernah lelah menyemaikan kebinekaan terhadap para siswa memiliki momen yang pas.
"Guru tidak tergantikan karena dia mengemban tugas menyadarkan jiwa anak didik. Pendidikan siswa tidak bisa diberikan oleh media sosial. Tugas guru mendidik murid agar memiliki jiwa yang sehat, matang, dan memahami Bhinneka Tunggal Ika. Peringatan Hari Guru Nasional ini harus menjadi momentum," kata Presiden di Stadion Patriot Candrabhaga, Bekasi.
Sebelumnya, Ketua Umum Pengurus Besar PGRI Unifah Rosyidi mengatakan pemerintah masih berupaya memperbaiki kesejahteraan pendidik. Akan tetapi, para guru merupakan sosok yang inspiratif dan menjadi contoh dalam merawat kebinekaan serta menghindari cara pandang yang mengarah pada radikalisme.
"Untuk itu, saya sampaikan penghargaan dan apresiasi yang tinggi kepada seluruh guru di Tanah Air. Guru-guru yang berada di desa-desa, di pulau-pulau terpencil, pulau terluar, dan di perbatasan," ujar Presiden yang mengawali sambutannya dengan membungkukkan badan di depan puluhan ribu guru yang hadir di stadion.
Sebagai gambaran bagaimana intoleransi yang menafikan kebinekaan itu sudah merasuki murid-murid di sekolah. Wahid Foundation dan Lembaga Survei Indonesia pada 30 Maret-9 April 2006 melakukan survei terhadap 1.520 responden berusia 17 tahun di 34 provinsi.
Hasilnya, sebanyak 59,9 persen responden mempunyai kelompok yang dibenci, yakni mereka yang berlatar belakang nonmuslim, kelompok Tionghoa, dan komunis. Dari responden 59,9 persen tersebut, sekitar 90 persen tidak menyetujui apabila anggota kelompok yang mereka benci menjadi pejabat pemerintah.
Peneliti dari Setara Institute, Halili, mengungkapkan pandangannya yang tidak jauh berbeda. Dia mengakui sikap intoleransi pelajar dalam beberapa waktu terakhir menunjukkan gejala menguat di beberapa kota.
"Dalam lima tahun terakhir ditemukan adanya penguatan identitas primordial, termasuk keagamaan. Contohnya, ada beberapa sekolah negeri menjadikan agama tertentu sebagai referensi pengambilan kebijakan," kata Halili.
Saat menanggapi semua itu, seorang guru MTs At-Tawakkal di Cilaku, Cianjur, Ira Marina, mengingatkan bahwa Indonesia tercipta dalam segala keberagamannya.
"Itu harus kita hargai. Kita saling melengkapi satu sama lain. Nilai-nilai itu saya sampaikan kepada murid bahwa menjadi bagian dari bangsa ini harus menjunjung tinggi toleransi," ungkap guru berusia sekitar 30 tahun itu.
Nur Wahyuni, siswa SMK Global Prima Islamic School, Bekasi, pun bersikap serupa bahwa guru harus memiliki semangat dalam menyampaikan kepada murid tentang arti kebinekaan dan menjunjung tinggi hak orang lain. Seperti halnya Wulan Triyani, murid SMAN 6 Depok.
"Sebagai anutan siswa, guru mesti sudah selesai dengan persoalan ini. Dia menanamkan toleransi," tutur Nur.
Terkait sikap saling menghargai keberagaman di sekolah, Mendikbud Muhadjir Effendy mengimbau para guru untuk memberikan contoh sesuai UU RI No 20/2013 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yaitu menyampaikan pencerahan kepada siswa tentang keindonesiaan yang mengedepankan Pancasila sehingga tidak ada tindakan intoleran di sekolah di mana pun.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(SCI)