Jakarta: Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menjawab permintaan Greenpeace agar pemerintah mencabut izin-izin usaha di lahan gambut. Permintaan lembaga swadaya masyarakat (LSM) itu dinilai tidak konsisten.
"Mengapa Greenpeace sekarang mendesak pemerintah untuk mencabut izin-izin usaha di lahan gambut? Ini menunjukkan posisi Greenpeace yang tidak konsisten," kata Sekretaris Jenderal KLHK Bambang Hendroyono melalui keterangan tertulis, Rabu, 17 November 2021.
Menurut Bambang, Greenpeace pernah berkolaborasi dengan perusahaan besar tertentu dan dideklarasikan pada 2013. Namun, Greenpeace tidak memberikan syarat kepada perusahaan itu untuk tidak boleh beroperasi pada area izin-izin usahanya yang berada di lahan gambut.
"Greenpeace juga tidak mensyaratkan agar perusahaan itu menyerahkan izin-izin usahanya di lahan gambut kepada pemerintah untuk dicabut," ujar Bambang.
Bambang menuturkan Greenpeace tetap berkolaborasi selama bertahun-tahun dengan perusahaan besar yang sejatinya beroperasi di area lahan gambut. Perusahaan itu bergerak di bidang sawit dan pulp/kertas.
"Bahkan, tidak terdapat klausul yang mengharuskan grup sawit dan pulp/paper perusahaan itu untuk menghentikan pemanfaatan lahan gambut oleh grup perusahaan besar dimaksud," ucap Bambang.
Bambang mengungkapkan selama berkolaborasi dengan Greenpeace, perusahaan tersebut masih terkait dengan deforestasi. Perusahaan melakukan pengeringan gambut dan pembukaan kanal-kanal baru sepanjang ratusan kilometer yang membuat kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang luas.
"Menteri LHK memberikan sanksi-sanksi kepada sejumlah perusahaan grup besar tersebut serta perusahaan lainnya dari kejadian Karhutla 2015," ucap Bambang.
Baca: Indonesia Siap Terapkan Pembangunan Seimbang Atasi Masalah Lingkungan
Bambang juga mempertanyakan kapasitas Greenpeace mempersoalkan lahan sawit di kawasan hutan. Sementara itu, Greenpeace sudah berkolaborasi dengan grup sawit yang memiliki lahan sawit di dalam kawasan hutan.
"Mengapa Greenpeace tetap memulai dan melanjutkan kolaborasi dengan grup sawit perusahaan itu hingga bertahun-tahun lamanya yang konsesi-konsesinya berada di dalam kawasan hutan?" ujar Bambang.
Greenpeace, kata Bambang, mestinya memahami sebaran konsesi-konsesi Hutan Tanaman Industri (HTI) dan sawit di Kesatuan Hidrologis Gambut (KHG) di 7 provinsi prioritas restorasi gambut. Seluruh izin-izin usaha di lahan tersebut bukan diberikan dalam periode pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi).
"Ketika Greenpeace mengumumkan kolaborasinya, dengan grup sektor sawit dan pulp/kertas, konsesi-konsesi tersebut telah berada di lahan gambut, dan Presiden Jokowi belum menjabat sebagai Presiden RI," kata Bambang.
Jakarta: Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
(KLHK) menjawab permintaan
Greenpeace agar pemerintah mencabut izin-izin usaha di lahan gambut. Permintaan lembaga swadaya masyarakat (LSM) itu dinilai tidak konsisten.
"Mengapa Greenpeace sekarang mendesak pemerintah untuk mencabut izin-izin usaha di lahan gambut? Ini menunjukkan posisi Greenpeace yang tidak konsisten," kata Sekretaris Jenderal KLHK Bambang Hendroyono melalui keterangan tertulis, Rabu, 17 November 2021.
Menurut Bambang, Greenpeace pernah berkolaborasi dengan perusahaan besar tertentu dan dideklarasikan pada 2013. Namun, Greenpeace tidak memberikan syarat kepada perusahaan itu untuk tidak boleh beroperasi pada area izin-izin usahanya yang berada di
lahan gambut.
"Greenpeace juga tidak mensyaratkan agar perusahaan itu menyerahkan izin-izin usahanya di lahan gambut kepada pemerintah untuk dicabut," ujar Bambang.
Bambang menuturkan Greenpeace tetap berkolaborasi selama bertahun-tahun dengan perusahaan besar yang sejatinya beroperasi di area lahan gambut. Perusahaan itu bergerak di bidang sawit dan
pulp/kertas.
"Bahkan, tidak terdapat klausul yang mengharuskan grup sawit dan
pulp/paper perusahaan itu untuk menghentikan pemanfaatan lahan gambut oleh grup perusahaan besar dimaksud," ucap Bambang.
Bambang mengungkapkan selama berkolaborasi dengan Greenpeace, perusahaan tersebut masih terkait dengan deforestasi. Perusahaan melakukan pengeringan gambut dan pembukaan kanal-kanal baru sepanjang ratusan kilometer yang membuat kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang luas.
"Menteri LHK memberikan sanksi-sanksi kepada sejumlah perusahaan grup besar tersebut serta perusahaan lainnya dari kejadian Karhutla 2015," ucap Bambang.
Baca:
Indonesia Siap Terapkan Pembangunan Seimbang Atasi Masalah Lingkungan
Bambang juga mempertanyakan kapasitas Greenpeace mempersoalkan lahan sawit di kawasan hutan. Sementara itu, Greenpeace sudah berkolaborasi dengan grup sawit yang memiliki lahan sawit di dalam kawasan hutan.
"Mengapa Greenpeace tetap memulai dan melanjutkan kolaborasi dengan grup sawit perusahaan itu hingga bertahun-tahun lamanya yang konsesi-konsesinya berada di dalam kawasan hutan?" ujar Bambang.
Greenpeace, kata Bambang, mestinya memahami sebaran konsesi-konsesi Hutan Tanaman Industri (HTI) dan sawit di Kesatuan Hidrologis Gambut (KHG) di 7 provinsi prioritas restorasi gambut. Seluruh izin-izin usaha di lahan tersebut bukan diberikan dalam periode pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi).
"Ketika Greenpeace mengumumkan kolaborasinya, dengan grup sektor sawit dan
pulp/kertas, konsesi-konsesi tersebut telah berada di lahan gambut, dan Presiden Jokowi belum menjabat sebagai Presiden RI," kata Bambang.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(JMS)