medcom.id, Jakarta: Pimpinan DPR melantik 14 anggota Tim Pengawas Intelijen pada Selasa, 26 Januari 2016. Tugas utama tim adalah mengawasi penyimpangan pelaksanaan fungsi intelijen negara.
Mantan Kepala Badan Intelijen Strategis (BAIS) TNI Laksda TNI (Purn) Soleman B. Ponto mempertanyakan urgensi pembentukan tim pengawas intelijen itu. Sebab tugas intelijen, dalam hal ini Badan Intelijen Negara (BIN), hanya patuh kepada perintah Presiden Republik Indonesia. Hal itu merupakan prinsip intelijen di seluruh dunia.
"Sebagai agen, Kepala BIN harus patuh dan setia kepada agent handlernya, yaitu Presiden dengan tidak membuka sama sekali perintah Presiden yang diberikan kepadanya," tegas Ponto dalam keterangan tertulis kepada Metrotvnews.com, Rabu (27/1/2016).
Bila nanti Kepala BIN menjelaskan kepada Tim Pengawas Intelijen apa yang dilakukan untuk memenuhi perintah agent handlernya (Presiden), Kepala BIN berarti telah mengkhianati Presiden.
"BIN telah meletakkan dirinya sebagai double agent. Hal ini tentu sangat diinginkan pihak lawan. Sebaliknya hal ini merupakan contoh yang sangat jelek bagi personel intelijen Indonesia lainnya," tegas dia.
Tim pengawas intelijen adalah anggota DPR yang terhormat dan tidak boleh dibohongi. Dengan demikian, Kepala BIN harus menjelaskan dengan sejelas-jelasnya apa yang telah dilakukan. Sebagai petugas intelijen profesional, akan sulit bagi Kepala BIN untuk mengatakan yang sebenarnya.
"Demikian pula bagi tim pengawas intelijen akan sulit mengamatinya. Karena yang kelihatan belum tentu itu bentuknya. Jadi yang didapatkan tim pengawas intelijen ini belum tentu benar," imbuhnya.
Dari sisi ilmu intelijen, lanjut dia, keberadaan tim pengawas intelijen akan dilihat sebagai 'upaya lawan' untuk mendapatkan informasi melalui jalur resmi.
"Hal ini akan semakin membuat seorang pejabat Kepala BIN tetap setia kepada agent handlernya. Secara profesional akan sulit bagi Kepala BIN untuk mengatakan yang sebenarnya," kata Ponto.
Dia juga menilai, pihak lawan akan menganggap tim pengawas intelijen sebagai pihak yang banyak mengetahui tentang kegiatan operasi intelijen Indonesia. "Sehingga dapat dipastikan, mereka akan menjadi sasaran operasi dan kegiatan intelijen lawan untuk mendapatkan informasi Page 3 of 3 yang mereka butuhkan," jelas dia.
Dia tak bisa bayangkan bila intelijen lawan melakukan operasi atau kegiatan demi sesuatu yang diinginkan. "Operasinya bisa mulai dari yang paling halus bahkan sampai yang paling brutal. Misalkan penculikan diri sendiri atau anggota keluarga agar mendapatkan sesuatu informasi," kata dia.
Sebaliknya bagi intelijen Indonesia, kata dia, anggota tim pengawas intelijen akan ditempatkan sebagai 'kambing hitam', pembocor informasi' bila terjadi kebocoran kegiatan dan operasi intelijen.
"Hal ini disebabkan karena sebagai anggota DPR, sifatnya harus terbuka terhadap rakyat yang memilihnya. Dengan demikian sangat sulit bagi mereka untuk merahasiakan apa yang mereka ketahui dengan kegiatan dan operasi intelijen yang mereka awasi," tegas dia.
"Kebocoran informasi ini dapat juga terjadi karena 'kelalaian' atau 'dengan sengaja dilakukan' untuk mendapatkan imbalan tertentu. Dengan adanya 'kambing hitam' yang dengan mudah dapat disalahkan. Tidak tertutup kemungkinan para personel intelijen sendiri yang membocorkan rahasia itu," tegas dia.
Sementara, kata dia, bila dalam pengawasan 'anggota tim pengawas intelijen' menemukan pelanggaran hukum yang dilakukan Kepala BIN hal ini dapat ditindak lanjuti dengan penegakan hukum. Agent handler dalam hal ini Presiden sesuai dengan prinsip intelijen, pasti tidak akan mengakui itu atas perintah dia.
"Dengan demikian tanpa anggota tim pengawas intelijen, para penegak hukum dapat langsung menahan anggota intelijen yang melanggar hukum itu," kata Ponto.
medcom.id, Jakarta: Pimpinan DPR melantik 14 anggota Tim Pengawas Intelijen pada Selasa, 26 Januari 2016. Tugas utama tim adalah mengawasi penyimpangan pelaksanaan fungsi intelijen negara.
Mantan Kepala Badan Intelijen Strategis (BAIS) TNI Laksda TNI (Purn) Soleman B. Ponto mempertanyakan urgensi pembentukan tim pengawas intelijen itu. Sebab tugas intelijen, dalam hal ini Badan Intelijen Negara (BIN), hanya patuh kepada perintah Presiden Republik Indonesia. Hal itu merupakan prinsip intelijen di seluruh dunia.
"Sebagai agen, Kepala BIN harus patuh dan setia kepada agent handlernya, yaitu Presiden dengan tidak membuka sama sekali perintah Presiden yang diberikan kepadanya," tegas Ponto dalam keterangan tertulis kepada
Metrotvnews.com, Rabu (27/1/2016).
Bila nanti Kepala BIN menjelaskan kepada Tim Pengawas Intelijen apa yang dilakukan untuk memenuhi perintah
agent handlernya (Presiden), Kepala BIN berarti telah mengkhianati Presiden.
"BIN telah meletakkan dirinya sebagai double agent. Hal ini tentu sangat diinginkan pihak lawan. Sebaliknya hal ini merupakan contoh yang sangat jelek bagi personel intelijen Indonesia lainnya," tegas dia.
Tim pengawas intelijen adalah anggota DPR yang terhormat dan tidak boleh dibohongi. Dengan demikian, Kepala BIN harus menjelaskan dengan sejelas-jelasnya apa yang telah dilakukan. Sebagai petugas intelijen profesional, akan sulit bagi Kepala BIN untuk mengatakan yang sebenarnya.
"Demikian pula bagi tim pengawas intelijen akan sulit mengamatinya. Karena yang kelihatan belum tentu itu bentuknya. Jadi yang didapatkan tim pengawas intelijen ini belum tentu benar," imbuhnya.
Dari sisi ilmu intelijen, lanjut dia, keberadaan tim pengawas intelijen akan dilihat sebagai 'upaya lawan' untuk mendapatkan informasi melalui jalur resmi.
"Hal ini akan semakin membuat seorang pejabat Kepala BIN tetap setia kepada agent handlernya. Secara profesional akan sulit bagi Kepala BIN untuk mengatakan yang sebenarnya," kata Ponto.
Dia juga menilai, pihak lawan akan menganggap tim pengawas intelijen sebagai pihak yang banyak mengetahui tentang kegiatan operasi intelijen Indonesia. "Sehingga dapat dipastikan, mereka akan menjadi sasaran operasi dan kegiatan intelijen lawan untuk mendapatkan informasi Page 3 of 3 yang mereka butuhkan," jelas dia.
Dia tak bisa bayangkan bila intelijen lawan melakukan operasi atau kegiatan demi sesuatu yang diinginkan. "Operasinya bisa mulai dari yang paling halus bahkan sampai yang paling brutal. Misalkan penculikan diri sendiri atau anggota keluarga agar mendapatkan sesuatu informasi," kata dia.
Sebaliknya bagi intelijen Indonesia, kata dia, anggota tim pengawas intelijen akan ditempatkan sebagai 'kambing hitam', pembocor informasi' bila terjadi kebocoran kegiatan dan operasi intelijen.
"Hal ini disebabkan karena sebagai anggota DPR, sifatnya harus terbuka terhadap rakyat yang memilihnya. Dengan demikian sangat sulit bagi mereka untuk merahasiakan apa yang mereka ketahui dengan kegiatan dan operasi intelijen yang mereka awasi," tegas dia.
"Kebocoran informasi ini dapat juga terjadi karena 'kelalaian' atau 'dengan sengaja dilakukan' untuk mendapatkan imbalan tertentu. Dengan adanya 'kambing hitam' yang dengan mudah dapat disalahkan. Tidak tertutup kemungkinan para personel intelijen sendiri yang membocorkan rahasia itu," tegas dia.
Sementara, kata dia, bila dalam pengawasan 'anggota tim pengawas intelijen' menemukan pelanggaran hukum yang dilakukan Kepala BIN hal ini dapat ditindak lanjuti dengan penegakan hukum. Agent handler dalam hal ini Presiden sesuai dengan prinsip intelijen, pasti tidak akan mengakui itu atas perintah dia.
"Dengan demikian tanpa anggota tim pengawas intelijen, para penegak hukum dapat langsung menahan anggota intelijen yang melanggar hukum itu," kata Ponto.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(MBM)