Jakarta: Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) masih gamang soal hukuman mati koruptor. Partai besutan Muhaimin Iskandar itu masih menunggu draf revisi Undang-Undang Tipikor.
"Belum sampai situ (dukung-mendukung). Lagian, belum masuk drafnya. Nanti kalau drafnya sudah masuk pasti kita bahas," kata politikus PKB Jazilul Fawaid di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu, 11 Desember 2019.
Menurut dia, hukuman mati koruptor baru wacana. Butuh proses panjang hingga sanksi itu benar-benar diterapkan.
"Kalau hari ini baru wacana, buat UU ada tatib dan aturannya. Saya yakin Pak Presiden (Joko Widodo) tahu (tahapannya)," ujar dia.
Pemerintah, lanjut dia, perlu menyerahkan draf revisi UU Tipikor ke DPR. Draf itu akan dirapatkan dan dipertimbangkan urgensi memasukkan hukuman mati untuk koruptor.
"Lalu diskusi pasal mana yang perlu diubah, perlu ditambah apa, hari ini sifatnya masih wacana, kalau wacana kita apresiasi lah, karena semuanya ingin tidak ada korupsi di negara ini," ujar dia.
Presiden Joko Widodo membuka peluang hukuman mati bagi koruptor. Vonis terberat itu bisa dijatuhkan bila rakyat meminta.
"Kalau masyarakat berkehendak seperti itu dalam rancangan UU Pidana, UU Tipikor itu dimasukkan," kata Jokowi di SMK 57 Jakarta, Senin, 9 Desember 2019.
Aturan hukuman mati tercantum dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tipikor. Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor menyebutkan, "Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat empat tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit Rp200 juta dan paling banyak Rp1 miliar."
Pasal 2 ayat (2) menjelaskan, "Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan." Frasa "keadaan tertentu" berlaku apabila tindak pidana dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai UU yang berlaku, pada waktu terjadi bencana alam nasional, sebagai pengulangan tindak pidana korupsi, atau pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter.
Jakarta: Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) masih gamang soal hukuman mati koruptor. Partai besutan Muhaimin Iskandar itu masih menunggu draf revisi Undang-Undang Tipikor.
"Belum sampai situ (dukung-mendukung). Lagian, belum masuk drafnya. Nanti kalau drafnya sudah masuk pasti kita bahas," kata politikus PKB Jazilul Fawaid di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu, 11 Desember 2019.
Menurut dia, hukuman mati koruptor baru wacana. Butuh proses panjang hingga sanksi itu benar-benar diterapkan.
"Kalau hari ini baru wacana, buat UU ada tatib dan aturannya. Saya yakin Pak Presiden (Joko Widodo) tahu (tahapannya)," ujar dia.
Pemerintah, lanjut dia, perlu menyerahkan draf revisi UU Tipikor ke DPR. Draf itu akan dirapatkan dan dipertimbangkan urgensi memasukkan
hukuman mati untuk koruptor.
"Lalu diskusi pasal mana yang perlu diubah, perlu ditambah apa, hari ini sifatnya masih wacana, kalau wacana kita apresiasi lah, karena semuanya ingin tidak ada korupsi di negara ini," ujar dia.
Presiden Joko Widodo membuka peluang hukuman mati bagi koruptor. Vonis terberat itu bisa dijatuhkan bila rakyat meminta.
"Kalau masyarakat berkehendak seperti itu dalam rancangan UU Pidana, UU Tipikor itu dimasukkan," kata Jokowi di SMK 57 Jakarta, Senin, 9 Desember 2019.
Aturan hukuman mati tercantum dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tipikor. Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor menyebutkan, "Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat empat tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit Rp200 juta dan paling banyak Rp1 miliar."
Pasal 2 ayat (2) menjelaskan, "Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan." Frasa "keadaan tertentu" berlaku apabila tindak pidana dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai UU yang berlaku, pada waktu terjadi bencana alam nasional, sebagai pengulangan tindak pidana korupsi, atau pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(AZF)