Jakarta: RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) resmi disetujui menjadi RUU inisiatif DPR dalam rapat paripurna kemarin, Selasa, 18 Januari 2022. Ke depannya, masih panjang tahapan yang harus dilalui RUU TPKS untuk bisa menjadi payung hukum.
Sebagai payung hukum kekerasan seksual nantinya, RUU TPKS tidak hanya mengatur hukuman bagi pelaku kekerasan seksual, namun juga perlindungan bagi para penyintas.
"Kita harapkan, RUU TPKS ini menjadi payung hukum yang komprehensif. Selama ini, korban itu terabaikan hak-haknya," ujar Direktur Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) Jakarta Siti Mazumah, dalam tayangan Selamat Pagi Indonesia di Metro TV, Rabu, 19 Januari 2022.
Menilik kasus-kasus kekerasan seksual sebelumnya, korban kerap bertabrakan dengan tiadanya payung hukum yang memihak kepada mereka. Terdapat kasus yang dihentikan atas dasar restorative justice, dan para korban dibebani dengan pencarian bukti kasusnya sendiri.
Dalam sejumlah kasus, pihak korban harus membayar visum sendiri sebagai pembuktian kekerasan seksual yang dialaminya. Bahkan, ditemukan pula kasus di mana korban diminta mencari sendiri pelaku kekerasan seksual.
Korban kekerasan seksual juga menghadapi stigma masyarakat yang memandang kekerasan seksual sebagai aib. Padahal, para korban pun memerlukan pemulihan fisik dan psikis.
Siti turut menyampaikan bahwa implementasi perlindungan korban dapat berkaca pada penanganan kekerasan seksual oleh Dikti. Misalnya, pembentukan Satuan Tugas (Satgas) untuk mencegah dan menangani kekerasan seksual. (Kaylina Ivani)
Jakarta:
RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) resmi disetujui menjadi RUU inisiatif DPR dalam rapat paripurna kemarin, Selasa, 18 Januari 2022. Ke depannya, masih panjang tahapan yang harus dilalui RUU TPKS untuk bisa menjadi payung hukum.
Sebagai payung hukum kekerasan seksual nantinya, RUU TPKS tidak hanya mengatur hukuman bagi pelaku
kekerasan seksual, namun juga perlindungan bagi para penyintas.
"Kita harapkan, RUU TPKS ini menjadi payung hukum yang komprehensif. Selama ini, korban itu terabaikan hak-haknya," ujar Direktur Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) Jakarta Siti Mazumah, dalam tayangan Selamat Pagi Indonesia di Metro TV, Rabu, 19 Januari 2022.
Menilik kasus-kasus kekerasan seksual sebelumnya, korban kerap bertabrakan dengan tiadanya payung hukum yang memihak kepada mereka. Terdapat kasus yang dihentikan atas dasar restorative justice, dan para korban dibebani dengan pencarian bukti kasusnya sendiri.
Dalam sejumlah kasus, pihak korban harus membayar visum sendiri sebagai pembuktian kekerasan seksual yang dialaminya. Bahkan, ditemukan pula kasus di mana korban diminta mencari sendiri pelaku kekerasan seksual.
Korban kekerasan seksual juga menghadapi stigma masyarakat yang memandang kekerasan seksual sebagai aib. Padahal, para korban pun memerlukan pemulihan fisik dan psikis.
Siti turut menyampaikan bahwa implementasi perlindungan korban dapat berkaca pada penanganan kekerasan seksual oleh Dikti. Misalnya, pembentukan Satuan Tugas (Satgas) untuk mencegah dan menangani kekerasan seksual. (Kaylina Ivani)
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(MBM)