medcom.id, Jakarta: Fraksi Partai Golkar meminta pimpinan DPR merehabilitasi nama Setya Novanto. Permintaan itu menyusul Mahkamah Konstitusi mengabulkan gugatan mantan ketua DPR itu terkait frasa 'pemufakatan jahat'.
Permintaan tersebut tertuang dalam surat yang beredar lengkap dengan kop surat berlambang pohon beringin bernomor SJ.00./FPG/DPR-RI/IX/2016.
Menurut anggota Mahkamah Kehormatan Dewan Muhammad Syafii, seharusnya yang bertanggung jawab merehabilitasi nama Novanto adalah mantan Menteri ESDM Sudirman Said. Kala itu Sudirman lah yang membocorkan rekaman hasil percakapan antara Setya Novanto, Presdir Freeport Indonesia Maroef Sjamsoedin dan pengusaha M Riza Chalid.
"Jadi kalau memang MK membuktikan bahwa rekaman yang dibawa itu tidak asli, Sudirman Said yang berdosa," kata Syafii di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (15/9/2016).
Mantan Ketua DPR RI, Setya Novanto dimintai keterangan oleh media usai menjalani pemeriksaan di Kejaksaan Agung, Jakarta, Rabu (10/2/2016). Kedatangan Novanto dalam rangka memberi keterangannya sebagai saksi dalam perkara kasus Freeport. Foto: Antara/Rivan Awal Lingga
Karena itu, lanjut politikus Gerindra ini, seharusnya yang bertanggung jawab soal nama Setya Novanto adalah Sudirman, bukan MKD. Apalagi saat persidangan berlangsung, MKD sempat meminta rekaman asli kepada Jaksa Agung namun kejaksaan tak memberikannya.
"Jadi apa yang mau direhabilitasi oleh MKD. Harusnya kalau memang manusia Indonesia yang memahami peradaban Indonesia harus minta maaf, rehabilitasi itu karena pengaduannya palsu," ujar Syafii.
MKD, lanjut Syafii, juga tidak pernah memutuskan perkara pencatutan nama Presiden Jokowi terkait perpanjangan kontrak PT Freport itu. sebelum MKD memberikan keputusan, Novanto sudah terlebih dahulu mengundurkan diri.
"Jadi dia mundur bukan akibat dari keputusan MKD. Itu yang perlu dicatat. Jadi yang harus merehabilitasi itu ya pak Sudirman Said," ucap Syafii.
Mahkamah Konstitusi mengabulkan sebagian uji materi UU Informasi dan Transaksi Elektronik yang diajukan oleh Setya Novanto. Dengan putusan ini, maka tiap penyadapan hanya boleh dilakukan untuk keperluan hukum dan seizin penegak hukum sesuai aturan yang berlaku.
Sudirman Said saat menjabat Menteri ESDM usai diperiksa Kejaksaan Agung terkait kasus 'Papa Minta Saham'. Foto: Antara/Rommy Pujianto
Novanto mengajukan uji materi Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) serta UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) yang teregistrasi dengan nomor perkara 20/PUU-XIV/2016.
Novanto merasa dirugikan dengan ketentuan Pasal 5 ayat (1) dan (2) serta Pasal 44 huruf b UU ITE yang mengatur bahwa informasi atau dokumen elektronik merupakan salah satu alat bukti penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di pengadilan yang sah.
Novanto juga merasa dirugikan dengan berlakunya ketentuan Pasal 26A UU KPK yang menyatakan alat bukti yang sah berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, dan disimpan secara elektronik dengan alat serta dokumen yang setiap rekaman data atau infomrasi yang dapat dilihat, dibaca, dan atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, maupun yang terekam secara elektronik.
Majelis Hakim mengabulkan sebagian permohonan Novanto. "Mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian," kata Ketua MK Arief Hidayat dalam sidang di Mahkamah Konsitusi, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Rabu 7 September 2016.
Arief mengatakan, frasa 'informasi elektronik dan atau dokumen elektronik' dalam Pasal 5 ayat (1) dan (2) serta Pasal 44 huruf b Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik bertentangan dengan UUD tahun 1945, sepanjang tak dimaknai sebagai alat bukti dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian atau penegak hukum lain berdasarkan undang-undang sebagaimana ditentukan dalam Pasal 31 ayat (3) dan UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
medcom.id, Jakarta: Fraksi Partai Golkar meminta pimpinan DPR merehabilitasi nama Setya Novanto. Permintaan itu menyusul Mahkamah Konstitusi mengabulkan gugatan mantan ketua DPR itu terkait frasa 'pemufakatan jahat'.
Permintaan tersebut tertuang dalam surat yang beredar lengkap dengan kop surat berlambang pohon beringin bernomor SJ.00./FPG/DPR-RI/IX/2016.
Menurut anggota Mahkamah Kehormatan Dewan Muhammad Syafii, seharusnya yang bertanggung jawab merehabilitasi nama Novanto adalah mantan Menteri ESDM Sudirman Said. Kala itu Sudirman lah yang membocorkan rekaman hasil percakapan antara Setya Novanto, Presdir Freeport Indonesia Maroef Sjamsoedin dan pengusaha M Riza Chalid.
"Jadi kalau memang MK membuktikan bahwa rekaman yang dibawa itu tidak asli, Sudirman Said yang berdosa," kata Syafii di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (15/9/2016).
Mantan Ketua DPR RI, Setya Novanto dimintai keterangan oleh media usai menjalani pemeriksaan di Kejaksaan Agung, Jakarta, Rabu (10/2/2016). Kedatangan Novanto dalam rangka memberi keterangannya sebagai saksi dalam perkara kasus Freeport. Foto: Antara/Rivan Awal Lingga
Karena itu, lanjut politikus Gerindra ini, seharusnya yang bertanggung jawab soal nama Setya Novanto adalah Sudirman, bukan MKD. Apalagi saat persidangan berlangsung, MKD sempat meminta rekaman asli kepada Jaksa Agung namun kejaksaan tak memberikannya.
"Jadi apa yang mau direhabilitasi oleh MKD. Harusnya kalau memang manusia Indonesia yang memahami peradaban Indonesia harus minta maaf, rehabilitasi itu karena pengaduannya palsu," ujar Syafii.
MKD, lanjut Syafii, juga tidak pernah memutuskan perkara pencatutan nama Presiden Jokowi terkait perpanjangan kontrak PT Freport itu. sebelum MKD memberikan keputusan, Novanto sudah terlebih dahulu mengundurkan diri.
"Jadi dia mundur bukan akibat dari keputusan MKD. Itu yang perlu dicatat. Jadi yang harus merehabilitasi itu ya pak Sudirman Said," ucap Syafii.
Mahkamah Konstitusi mengabulkan sebagian uji materi UU Informasi dan Transaksi Elektronik yang diajukan oleh Setya Novanto. Dengan putusan ini, maka tiap penyadapan hanya boleh dilakukan untuk keperluan hukum dan seizin penegak hukum sesuai aturan yang berlaku.
Sudirman Said saat menjabat Menteri ESDM usai diperiksa Kejaksaan Agung terkait kasus 'Papa Minta Saham'. Foto: Antara/Rommy Pujianto
Novanto mengajukan uji materi Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) serta UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) yang teregistrasi dengan nomor perkara 20/PUU-XIV/2016.
Novanto merasa dirugikan dengan ketentuan Pasal 5 ayat (1) dan (2) serta Pasal 44 huruf b UU ITE yang mengatur bahwa informasi atau dokumen elektronik merupakan salah satu alat bukti penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di pengadilan yang sah.
Novanto juga merasa dirugikan dengan berlakunya ketentuan Pasal 26A UU KPK yang menyatakan alat bukti yang sah berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, dan disimpan secara elektronik dengan alat serta dokumen yang setiap rekaman data atau infomrasi yang dapat dilihat, dibaca, dan atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, maupun yang terekam secara elektronik.
Majelis Hakim mengabulkan sebagian permohonan Novanto. "Mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian," kata Ketua MK Arief Hidayat dalam sidang di Mahkamah Konsitusi, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Rabu 7 September 2016.
Arief mengatakan, frasa 'informasi elektronik dan atau dokumen elektronik' dalam Pasal 5 ayat (1) dan (2) serta Pasal 44 huruf b Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik bertentangan dengan UUD tahun 1945, sepanjang tak dimaknai sebagai alat bukti dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian atau penegak hukum lain berdasarkan undang-undang sebagaimana ditentukan dalam Pasal 31 ayat (3) dan UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(MBM)