medcom.id, Jakarta: Pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dan intoleransi masih menjadi masalah fundamental yang terus merongrong integritas dan kebhinekaan bangsa.
Oleh karena itu, harapan baru bermuara pada Presiden terpilih Joko Widodo (Jokowi) agar dapat menyelesaikan utang masa lalu terkait pelanggaran HAM dan kebebasan beragama seperti yang tercantum dalam sejumlah visi-misi yang pernah diusung Jokowi.
“Dalam 10 tahun terakhir kecenderungan intoleransi menguat, ditambahkan lagi meningkatnya kekerasan atas nama agama contohnya di Yogyakarta. Arus politik penyeragaman bertentangan dengan aspek kebhinekaan merasuk di tengah masyarakat dan tubuh negara seperti peraturan-peraturan yang sifatnya diskriminatif. Tentu saja, ini menjadi tantangan baru dalam pemerintahan baru,” ujar Wakil Ketua Setara Institute Bonar Tigor Naipospos pada konferensi pers betajuk ‘Jokowi-JK, HAM, dan Kebebasan Beragama’ di Jakarta, Rabu (27/8/2014).
Hadir pula pada kesempatan itu, Direktur Riset Setara Institute Ismail Hasani dan Sekretaris Dewan Nasional Setara Institute Benny Susetyo.
Menurut Bonar, tidak terselesaikannya pelanggaran HAM di masa lalu menjadi residu atau bagian dari memori kolektif bangsa. Untuk itu, menjadi sangat penting bagi pemerintah baru membuat peradilan ad hoc serta Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) untuk mengobati luka sejarah dari korban pelanggaran HAM masa lalu.
“Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) cenderung mengacuhkan rekomendasi dari DPR mengenai pembentukan peradilan HAM ad hoc. Selain itu, kasus penghilangan orang juga tidak terealisasi. Bahkan, di program legislasi nasional prolegnas pun tidak ada rancangan terkait hal ini. Jokowi-JK perlu mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) mengenai KKR,” imbuhnya.
Undang-Undang KKR pernah diajukan oleh sejumlah LSM saat pemerintahan Abdurrahman Wahid dan Megawati Soekarnoputri. Tetapi ajuan itu ditolak dengan alasan jika pihak korban sudah menyatakan maaf, tidak ada lagi peradilan bagi pelanggar HAM.
Benny Susetyo menyoroti diperlukannya rekonsiliasi nasional. Pemerintah perlu meminta maaf pada korban pelanggaran HAM.
Para pelakunya juga harus mampu mengakui kesalahan untuk pemulihan hak-hak warga negara.
“Pada kasus pelanggaran HAM berat seperti kekerasan 1965, Papua, Aceh, Talangsari, Penghilangan orang periode 1997-1998 dan Trisakti-Semanggi, pemerintah tidak memberikan permintaan maaf kepada para korban. Kalau tidak berani mengakui masa lalu, bangsa Indonesia tidak akan bisa. Rekonsiliasi dilakukan untuk memulihkan martabat korban,” tuturnya.
medcom.id, Jakarta: Pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dan intoleransi masih menjadi masalah fundamental yang terus merongrong integritas dan kebhinekaan bangsa.
Oleh karena itu, harapan baru bermuara pada Presiden terpilih Joko Widodo (Jokowi) agar dapat menyelesaikan utang masa lalu terkait pelanggaran HAM dan kebebasan beragama seperti yang tercantum dalam sejumlah visi-misi yang pernah diusung Jokowi.
“Dalam 10 tahun terakhir kecenderungan intoleransi menguat, ditambahkan lagi meningkatnya kekerasan atas nama agama contohnya di Yogyakarta. Arus politik penyeragaman bertentangan dengan aspek kebhinekaan merasuk di tengah masyarakat dan tubuh negara seperti peraturan-peraturan yang sifatnya diskriminatif. Tentu saja, ini menjadi tantangan baru dalam pemerintahan baru,” ujar Wakil Ketua Setara Institute Bonar Tigor Naipospos pada konferensi pers betajuk ‘Jokowi-JK, HAM, dan Kebebasan Beragama’ di Jakarta, Rabu (27/8/2014).
Hadir pula pada kesempatan itu, Direktur Riset Setara Institute Ismail Hasani dan Sekretaris Dewan Nasional Setara Institute Benny Susetyo.
Menurut Bonar, tidak terselesaikannya pelanggaran HAM di masa lalu menjadi residu atau bagian dari memori kolektif bangsa. Untuk itu, menjadi sangat penting bagi pemerintah baru membuat peradilan ad hoc serta Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) untuk mengobati luka sejarah dari korban pelanggaran HAM masa lalu.
“Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) cenderung mengacuhkan rekomendasi dari DPR mengenai pembentukan peradilan HAM ad hoc. Selain itu, kasus penghilangan orang juga tidak terealisasi. Bahkan, di program legislasi nasional prolegnas pun tidak ada rancangan terkait hal ini. Jokowi-JK perlu mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) mengenai KKR,” imbuhnya.
Undang-Undang KKR pernah diajukan oleh sejumlah LSM saat pemerintahan Abdurrahman Wahid dan Megawati Soekarnoputri. Tetapi ajuan itu ditolak dengan alasan jika pihak korban sudah menyatakan maaf, tidak ada lagi peradilan bagi pelanggar HAM.
Benny Susetyo menyoroti diperlukannya rekonsiliasi nasional. Pemerintah perlu meminta maaf pada korban pelanggaran HAM.
Para pelakunya juga harus mampu mengakui kesalahan untuk pemulihan hak-hak warga negara.
“Pada kasus pelanggaran HAM berat seperti kekerasan 1965, Papua, Aceh, Talangsari, Penghilangan orang periode 1997-1998 dan Trisakti-Semanggi, pemerintah tidak memberikan permintaan maaf kepada para korban. Kalau tidak berani mengakui masa lalu, bangsa Indonesia tidak akan bisa. Rekonsiliasi dilakukan untuk memulihkan martabat korban,” tuturnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(HNR)