medcom.id, Jakarta: Wacana pemberian gelar pahlawan nasional kepada mantan Presiden Soeharto dan Abdurrahman Wahid alias Gusdur masih menjadi perdebatan. Anggota DPD RI AM Fatwa menyebut, dua bekas pimpinan Indonesia itu layak diganjar gelar pahlawan nasional.
"Harus tetap dipertimbangkan pemberian gelar pahlawan nasional untuk kedua mantan Presiden tersebut. Kita harus berdamai dengan sejarah, berdamai dengan masa lalu." kata AM Fatwa melalui keterangan tertulis yang diterima Metrotvnews.com, Selasa (24/5/2016).
AM Fatwa tak menampik adanya sejarah kurang mengenakkan yang ditoreh Soeharto dan Gusdur. Soeharto terganjal kasus pelanggaran HAM dan KKN, sedangkan Gusdur sempat mengeluarkan Dekrit pembubaran MPR.
Senator AM Fatwa (berbatik cokelat)/MI/Mohamad Irfan
Ia juga sepakat dengan pandangan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) yang menyebut pemberian gelar pahlawan nasional bagi keduanya bukan perkara mudah. Keduanya sama-sama diturunkan paksa sebelum masa jabatan berakhir.
"Secara logika politik, pandangan Wapres JK itu ada benarnya. Tapi untuk kepentingan politik persatuan nasional oleh seluruh golongan masyarakat Pancasilais kecuali golongan komunis, harus tetap dipertimbangkan," jelas Senator asal DKI Jakarta ini.
Semua pemimpin negara, kata AM Fatwa, memiliki catatan masa lalu masing-masing. Namun melupakan jasa besar mereka untuk bangsa ini dipandang kurang elok. Apalagi, masyarakat sudah merasakan efek positifnya.
Polemik Soeharto
Nama Soeharto punya gaung cukup besar. Di luar kontroversinya, Soeharto pernah menoreh prestasi bagi perkembangan bangsa ini. Presiden yang 32 tahun memimpin ini sempat didapuk gelar Bapak Pembangunan.
Presiden Soeharto bersama dua putrinya yang akrab disapa Mbak Tutut dan Titiek/MI
Di bawah pemerintahan Soeharto, Indonesia berhasil menjadi negara swasembada. Perkembangan sektor pertanian melaju pesat melalui rencana pembangunan lima tahun (Repelita) yang ia usung.
Namun, kondisi ekonomi Indonesia di tangan Soeharto memang tak selalu baik. Puncaknya terjadi pada krisis moneter 1998. Kondisi negeri bisa dikatakan cukup parah karena krisis ekonomi bercampur dengan kepanikan politik.
Mahasiswa bergerak. Demonstrasi besar-besaran dilakukan sampai akhirnya Soeharto mengundurkan diri. Pernyataan berhenti sebagai Presiden RI dibacakan tepat pukul 09.05 WIB, 21 Mei 1998. Tongkat kepemimpinan kemudian dipegang BJ Habibie yang sebelumnya menjadi Wapres.
Dekrit Gusdur
Gusdur terpilih sebagai Presiden ke-4 RI melalui Sidang Umum MPR, 20 Oktober 1999 dengan masa bakti periode 1999– 2004. Perjalanan Gusdur yang didampingi Megawati Soekarnoputri dianggap mampu menyelesaikan warisan Orde Baru, yakni persoalan KKN, pemulihan ekonomi, masalah badan penyehatan perbankan nasional (BPPN), kinerja BUMN, pengendalian inflasi, mempertahankan kurs rupiah, masalah jaringan pengaman sosial, dan penegakan hukum.
Presiden Gusdur (kanan)/MI/Usman Iskandar
Namun, di balik prestasi cemerlang pria yang diganjar gelar Bapak Pluralisme ini, ia dianggap terganjal satu keputusan politik. Gusdur mengeluarkan Dekrit pembubaran MPR, 23 Juli 2001, pukul 01.00 WIB.
Isi Dekrit Gusdur ialah membekukan MPR dan DPR RI. Selain itu, Gusdur juga ingin mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat dan mengambil tindakan serta menyusun badan-badan yang diperlukan untuk menyeleggarakan pemilu dalam waktu satu tahun. Terakhir, Dekrit juga berisi soal menyelamatkan gerakan reformasi total dari hambatan unsur-unsur Orde Baru dengan membekukan Partai Golkar sambil menunggu keputusan Mahkamah Agung.
Dekrit menjadi kontroversi baru. Ketua MPR saat itu, Amien Rais, menolak Dekrit Gusdur dan menggelar sidang istimewa yang berbuntut pemberhentian Gusdur dan pengangkatan Megawati dari wapres menjadi presiden.
medcom.id, Jakarta: Wacana pemberian gelar pahlawan nasional kepada mantan Presiden Soeharto dan Abdurrahman Wahid alias Gusdur masih menjadi perdebatan. Anggota DPD RI AM Fatwa menyebut, dua bekas pimpinan Indonesia itu layak diganjar gelar pahlawan nasional.
"Harus tetap dipertimbangkan pemberian gelar pahlawan nasional untuk kedua mantan Presiden tersebut. Kita harus berdamai dengan sejarah, berdamai dengan masa lalu." kata AM Fatwa melalui keterangan tertulis yang diterima
Metrotvnews.com, Selasa (24/5/2016).
AM Fatwa tak menampik adanya sejarah kurang mengenakkan yang ditoreh Soeharto dan Gusdur. Soeharto terganjal kasus pelanggaran HAM dan KKN, sedangkan Gusdur sempat mengeluarkan Dekrit pembubaran MPR.
Senator AM Fatwa (berbatik cokelat)/MI/Mohamad Irfan
Ia juga sepakat dengan pandangan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) yang menyebut pemberian gelar pahlawan nasional bagi keduanya bukan perkara mudah. Keduanya sama-sama diturunkan paksa sebelum masa jabatan berakhir.
"Secara logika politik, pandangan Wapres JK itu ada benarnya. Tapi untuk kepentingan politik persatuan nasional oleh seluruh golongan masyarakat Pancasilais kecuali golongan komunis, harus tetap dipertimbangkan," jelas Senator asal DKI Jakarta ini.
Semua pemimpin negara, kata AM Fatwa, memiliki catatan masa lalu masing-masing. Namun melupakan jasa besar mereka untuk bangsa ini dipandang kurang elok. Apalagi, masyarakat sudah merasakan efek positifnya.
Polemik Soeharto
Nama Soeharto punya gaung cukup besar. Di luar kontroversinya, Soeharto pernah menoreh prestasi bagi perkembangan bangsa ini. Presiden yang 32 tahun memimpin ini sempat didapuk gelar Bapak Pembangunan.
Presiden Soeharto bersama dua putrinya yang akrab disapa Mbak Tutut dan Titiek/MI
Di bawah pemerintahan Soeharto, Indonesia berhasil menjadi negara swasembada. Perkembangan sektor pertanian melaju pesat melalui rencana pembangunan lima tahun (Repelita) yang ia usung.
Namun, kondisi ekonomi Indonesia di tangan Soeharto memang tak selalu baik. Puncaknya terjadi pada krisis moneter 1998. Kondisi negeri bisa dikatakan cukup parah karena krisis ekonomi bercampur dengan kepanikan politik.
Mahasiswa bergerak. Demonstrasi besar-besaran dilakukan sampai akhirnya Soeharto mengundurkan diri. Pernyataan berhenti sebagai Presiden RI dibacakan tepat pukul 09.05 WIB, 21 Mei 1998. Tongkat kepemimpinan kemudian dipegang BJ Habibie yang sebelumnya menjadi Wapres.
Dekrit Gusdur
Gusdur terpilih sebagai Presiden ke-4 RI melalui Sidang Umum MPR, 20 Oktober 1999 dengan masa bakti periode 1999– 2004. Perjalanan Gusdur yang didampingi Megawati Soekarnoputri dianggap mampu menyelesaikan warisan Orde Baru, yakni persoalan KKN, pemulihan ekonomi, masalah badan penyehatan perbankan nasional (BPPN), kinerja BUMN, pengendalian inflasi, mempertahankan kurs rupiah, masalah jaringan pengaman sosial, dan penegakan hukum.
Presiden Gusdur (kanan)/MI/Usman Iskandar
Namun, di balik prestasi cemerlang pria yang diganjar gelar Bapak Pluralisme ini, ia dianggap terganjal satu keputusan politik. Gusdur mengeluarkan Dekrit pembubaran MPR, 23 Juli 2001, pukul 01.00 WIB.
Isi Dekrit Gusdur ialah membekukan MPR dan DPR RI. Selain itu, Gusdur juga ingin mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat dan mengambil tindakan serta menyusun badan-badan yang diperlukan untuk menyeleggarakan pemilu dalam waktu satu tahun. Terakhir, Dekrit juga berisi soal menyelamatkan gerakan reformasi total dari hambatan unsur-unsur Orde Baru dengan membekukan Partai Golkar sambil menunggu keputusan Mahkamah Agung.
Dekrit menjadi kontroversi baru. Ketua MPR saat itu, Amien Rais, menolak Dekrit Gusdur dan menggelar sidang istimewa yang berbuntut pemberhentian Gusdur dan pengangkatan Megawati dari wapres menjadi presiden.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(OJE)