Jakarta: Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dinilai terlalu buru-buru dalam pembahasan dan pengesahan sejumlah rancangan undang-undang (RUU). Sejumlah RUU yang sedang dibahas di DPR, yaitu RUU TNI, RUU Polri, Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) dan Kementerian negara.
Pakar hukum tata negara dari Universitas Andalas (Unand) Feri Amsari menyebut pembahasan paket UU yang terlalu cepat. Bahkan Feri menyebut, langkah DPR tersebut melanggar putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91 dan UU Pembentukan Perundang-undangan.
“Bahwa harus terdapat partisipasi publik, partisipasi yang bermakna dalam pembentukan UU,” ucap Feri kepada Media Indonesia, Minggu, 14 Juli 2024.
Menurutnya, pembahasan RUU harus memenuhi tiga hak, yakni, hak didengar, hak diterima pendapatnya dan hak mendapatkan penjelasan, bukan pendapatnya ditolak. Jika dilakukan terburu-terburu, kata Feri, sudah pasti tidak akan memenuhi standar tiga hak tersebut.
“Ini masalah serius dalam pembentukan UU kalau tidak taat terhadap keputusan MK dan UU yang anggota dewan buat sendiri. Namun, kan gaya pemerintahan saat ini adalah mengabaikan seluruh pandangan masyarakat dan memaksakan apa yang ingin mereka lakukan,” tegas Feri.
Di titik inilah, lanjut Feri, peran partai-partai politik dipertanyakan. Apalagi, tidak ada parpol yang berani mengkritisi atau mempermasalahkan UU yang sejatinya mereka punya hak untuk menolak atau mengundangkan.
“Jangan-jangan anggota partai-partai terutama oposisi tidak lagi mematuhi garis partai itu sendiri atau sebaliknya partai ikut terlibat menyetujui namun di depan layar mereka kemudian seolah-olah beroposisi,” ujar Feri.
Jakarta: Dewan Perwakilan Rakyat (
DPR) dinilai terlalu buru-buru dalam pembahasan dan pengesahan sejumlah rancangan
undang-undang (RUU). Sejumlah RUU yang sedang dibahas di DPR, yaitu RUU TNI, RUU Polri, Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) dan Kementerian negara.
Pakar hukum tata negara dari Universitas Andalas (Unand) Feri Amsari menyebut pembahasan paket UU yang terlalu cepat. Bahkan Feri menyebut, langkah DPR tersebut melanggar putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91 dan UU Pembentukan Perundang-undangan.
“Bahwa harus terdapat partisipasi publik, partisipasi yang bermakna dalam pembentukan UU,” ucap Feri kepada
Media Indonesia, Minggu, 14 Juli 2024.
Menurutnya, pembahasan RUU harus memenuhi tiga hak, yakni, hak didengar, hak diterima pendapatnya dan hak mendapatkan penjelasan, bukan pendapatnya ditolak. Jika dilakukan terburu-terburu, kata Feri, sudah pasti tidak akan memenuhi standar tiga hak tersebut.
“Ini masalah serius dalam pembentukan UU kalau tidak taat terhadap keputusan MK dan UU yang anggota dewan buat sendiri. Namun, kan gaya pemerintahan saat ini adalah mengabaikan seluruh pandangan masyarakat dan memaksakan apa yang ingin mereka lakukan,” tegas Feri.
Di titik inilah, lanjut Feri, peran partai-partai politik dipertanyakan. Apalagi, tidak ada parpol yang berani mengkritisi atau mempermasalahkan UU yang sejatinya mereka punya hak untuk menolak atau mengundangkan.
“Jangan-jangan anggota partai-partai terutama oposisi tidak lagi mematuhi garis partai itu sendiri atau sebaliknya partai ikut terlibat menyetujui namun di depan layar mereka kemudian seolah-olah beroposisi,” ujar Feri.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(END)